Laman

Senin, 31 Agustus 2015

10 Tahun Peringatan Kerjasama DIY- Gyeongsangbuk-DO

Angka 10 adalah angka yang cantik, apalagi jika angka tersebut menandakan lamanya sebuah relasi atau hubungan  kerjasama antara dua negara, yaitu Indonesia dan Korea. Pada tanggal 31 Agustus 2015,  merupakan hari dimana DIY dan Gyeongsangbuk-do merayakan kerjasama kultutral yang ke 10. Acara ini diadakan di PKKH UGM.





Ketika saya datang ke sana, saya menjumpai berbagai macam stand yang menyediakan berbagai macam informasi terkait Gyeongsangbuk-do. Tak lupa, sambutan dan senyuman ramah selalu dilayangkan oleh panitia kepada para hadirin yang hadir.  Senangnya hati ini, ketika datang diberikan banyak souvenir dari acara tersebut. 😍


Tapi, menariknya dari acara tersebut bagi saya adalah sambutan dari bu rektor UGM yang menyatakan bahwa kita harus belajar dari bangsa Korea, karena pada tahun 1970 kondisi Indonesia dan Korea Selatan berada dalam posisi yang terpuruk, namun mereka bangkit dan mandiri hingga saat ini. Dengan demikian, pantaslah Indonesia melihat perjuangan Korea yang bangkit dari kondisinya pada tahun 1970 dan menjadi negara yang pantas diperhitungkan di dunia internasional.  Setelah itu, sambutan dilanjutkan oleh perwakilan pemprov DIY dan gubernur Gyeongsangbuk-Do. Acara diakhiri dengan penampilan kultural baik dari Indonesia maupun Korea. 

Harapanku, semoga Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri dan memiliki kesadaran politik yang tinggi, sehingga bisa diperhitungkan di kancah dunia, tentunya bukan hanya dibidang kultural dan  olahraga. 

Kamis, 27 Agustus 2015

My Life in Yogya : Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2015



Gerbang Awal FKY
dok. pribadi

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2015, saya menyempatkan datang ke acara FKY 2015 bersama teman-teman di Jogja. Awalnya, niat saya datang kesana untuk mengambil beberapa foto yang menarik untuk pameran jurusan, tetapi ternyata karena datang cukup malam akhirnya foto yang dihasilkan cukup gelap karena pencahayaan yang kurang. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Saya pun kemudian (tetap) berfoto walaupun dengan hasil yang seadanya :D


Panggung FKY
dok. pribadi


Stand Lukisan FKY
dok. pribadi

Festival Kesenian Yogyakarta merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Yogyakarta. Awalnya, FKY digelar pemerintah kota Yogya bersamaan dengan peresmian Monumen Jogja Kembali pada tanggal 7 Juli 1989 silam, sekaligus agar menjadi ajang liburan masyarakat kota Jogja. Namun, seiring waktu FKY memberikan suasana yang berbeda. Misalnya, ada yang menarik dari FKY ke-27 ini, yaitu tempatnya yang berlokasi di Taman Kuliner, Condong Catur, Depok, Sleman dimana lokasi penyelenggaran tersebut tak berpusat di kota jogja. Dengan mengambil lokasi di daerah Concat, saya diuntungkan karena tempatnya dekat dengan Pogung Kidul J Tentunya, acara FKY ini sangat dimanfaatkan betul oleh masyarakat Yogyakarta, terutama para seniman dan budayawan, atau saya yang mengkaji budaya J. Walaupun begitu, ikon kegiatan kesenian Yogyakarta ini juga menyajikan berbagai hal menarik di dalamnya, contohnya adalah adanya empat panggung besar di FKY : Panggung Pasar Seni, Panggung Sastra, Bioskop FKY, dan Panggung Senyap. Selain adanya berbagai macam panggung, FKY kali ini juga bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk menggelar seminar, workshop, dan pelatihan-pelatihan. Seperti pada tanggal 26 Agustus 2015 saya pergi ke sana, sedang terselenggara workshop melukis. Bagi saya, FKY ke-27 ini satu kata, yaitu banyak makanan :D 
Selfie di FKY
dok. Pribadi

Setiap tahunnya, para penyelenggara FKY ini selalu menghadirkan ide dan konsep segar untuk menyemarakan acara. Misalnya, tahun lalu FKY yang memilih Plaza Pasar Ngasem sebagai area penyelenggaraan. Nah, untuk tahun ini penyegaran konsep FKY,  tak tanggung-tanggung, pentas seni ini menghabiskan dana sekitar Rp 1,9 Miliar dan jumlah tersebut belum termasuk biaya FKY yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten dan kota (Harian Jogja, 24 Agustus 2015). Menurut ketua divisi program, Ari Wulu, pemilihan lokasi di Condong Catur, misalnya, dinilai karena akan menjadi titik pertemuan dua kultur masyarakat, yaitu masyarakat urban dengan suasana perkotaan dengan masyarakat agraris. Ya, semoga beberapa hari tersisa ini FKY dapat memberikan manfaat berarti untuk kota Jogja. Cheers :D 





Minggu, 23 Agustus 2015

Cermin Diri

Sumber : google.com


Malam ini, kembali teringat pada sebuah lagu yang membuat saya selalu menangis ketika mendengarnya. Zaman ketika pakaian berwarna putih abu hingga mengenakan pakaian bebas di perkuliahan. Lagu ini membuat hati menjadi tenang dan seketika imaji tentang masa lalu memaksa diri untuk selalu merefleksikan diri. 

Cermin tak pernah berdusta - star five

cermin yang biasa kupandangi di setiap hari
sekali lagi membiaskan bayangan diri
wajah ini hati ini tempat sgala rasa bermula
kan indahkah akhir sgala kita

reff :
apakah diriku ini kan bercahaya bersinar di syurgaMu menatap penuh rindu
ataukah diriku ini kan hangus legam terbakar dalam nyala di neraka membara

sungguh berbeda yang nampak dan yang tersembunyi hanya kepalsuan menipu topeng belaka
jiwa ini tubuh ini hati yang merajai diri tlah bersalah hambaMu melangkah
kemanakah diriku ini berakhir di surga atau di nerakaMu
aku takkan mampu ampuni hamba sebelum akhir waktu

:)

Ps : lagu ini bisa dicari melalui google dan di unduh 

Jumat, 21 Agustus 2015

Ceritaku Tentang Instagram


           

           Sejak kuliah di Kajian Budaya dan Media, saya menjadi sangat tertarik dengan berbagai media, terutama yang disebut media baru atau internet. Mengkaji tentang internet itu sangat menarik terutama media sosial yang jumlah aplikasinya sekarang terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Mulai dari jejaring sosial yang khusus disediakan di ponsel hingga para pembuat aplikasi tersebut mengembangkan ke web. Nah, salah satu media sosial yang sangat menarik perhatian saya adalah instagram. Sayangya, kajian tentang instagram di Media Studies ini masih sangat jarang. Maklum, Instagram ini kan tergolong jejaring sosial yang baru happening ya. Pada tulisan kali ini, saya ingin sedikit sharing tentang ketertarikan saya pada instagram (biar kekinian) :D.

[sekilas] Instagram dan Fenomena Kekinian

            Instagram merupakan sebuah aplikasi jejaring sosial yang diluncurkan pada Oktober 2010 yang memungkinkan para penggunanya untuk menyimpan foto dan video mereka secara digital serta membagikannya kepada orang lain. Sejak diluncurkan pada Oktober 2010, instagram berhasil menarik perhatian masyarakat dunia sebanyak 150 juta pengguna aktif, dengan rata-rata 55 juta foto yang diunggah setiap harinya (Hu Y dkk, 2014 : 1). Di instagram, seseorang dapat mengedit foto sebelum diunggah dan dapat menyertakan keterangan foto atau yang disebut caption di bawah foto. Ketika foto diunggah, pengguna lain juga dapat memberikan komentar atau like pada foto tersebut. Biasanya, pengguna instagram akan mengunggah foto dirinya, temannya, aktivitasnya, gambar-gambar inspiratif, barang-barangnya, fashion, hewan, dan pemandangan.
            Selain itu, pengguna bisa mengikuti pengguna yang lainnya dengan menjadi follower di instagram, tetapi hubungan ini bersifat tidak linear karena yang di-follow tidak harus mengikuti akun yang mengikuti akunnya.  Pengguna Instagram juga dapat mengatur setelan akunnya agar bisa diakses oleh semua orang atau tidak. Jika tidak ingin semua orang mengakses, pengguna dapat menggunakan setelan privacy pada akun instagramnya.
Jika dihubungkan dengan fenomena terkini, misalnya dunia fashion, instagram turut memunculkan nama-nama baru di belantika fashion muslimah Indonesia. Para muslimah ini biasanya memamerkan cara berpakaian mereka dengan menggunakan hashtag  (#) tertentu misalnya #OOTD atau outfit of the day agar dengan mudah dilacak oleh orang lain. Jika mereka mendapatkan jumlah followers yang banyak, maka mereka akan disebut selebgram atau selebriti instagram. Selebgram ini merupakan selebriti jebolan instagram karena followers mereka yang jumlahnya puluhan atau ratusan ribu. Biasanya mereka akan diendorse oleh online shop untuk mempromosikan produk tertentu.

Intip Instagram Melalui Hashtag dan Caption


            Sebagai  jejaring sosial yang mempunyai ciri khas dalam visualitasnya, instagram mempunyai beberapa aparatus yang memungkinkan penggunanya membangun citra diri dalam ruang siber. Misalnya, instagram membuat para penggunanya selalu terhubung satu sama lain dengan menggunakan beberapa kode tertentu, misalnya adalah hashtag (#). Menurut Wendt, hashtag (#) dalam instagram merupakan metadata dan sarana yang memungkinkan penggunanya untuk mencantumkan kata atau frasa singkat pada gambar mereka dan mengakses gambar lain (2014 : 33). Penggunaan hashtag (#) akan membuat para pengguna instagram akan terhubung satu sama lain jika menggunakan hashtag yang sama.
            Penggunaan hashtag akan mengubah diri kita secara fisik menjadi tubuh virtual atau sebagai metadata. Dengan adanya hashtag, pengguna dapat mengaktualisasikan diri sebagai seseorang yang diinginkannya secara linguistik melalui bahasa. Seseorang tidak perlu memunculkan dirinya secara fisik, tetapi bahasa yang akan mengungkapkan identitas yang ia inginkan. Seperti yang diungkapkan oleh Wendt, bahwa we may view identity as simple as we describe it via hashtags  (2014: 37). Identitas kemudian dapat dimaknai hanya melalui hashtag dan dapat dikatakan bahwa instagram akhirnya memungkinkan pengguna untuk mentransformasi kehadiran yang biasanya berdasarkan fisik, namun berubah menjadi metadata.
            Secara tidak langsung penggunaan hashtag ini berfungsi sebagai pembatas terhadap klasifikasi-klasifikasi tertentu yang diinginkan oleh produsen. Pembatasan dan klasifikasi ini membuat produsen dengan mudah menyampaikan apa yang hendak dimaksudkan produsen pada konsumen. Selain membuat klasifikasi untuk memudahkan konsumen memaknai gambar produsen, secara tidak langsung produsen pun sedang melakukan seleksi representasi identitas tertentu yang ingin ditampilkan ke publik. Sehingga, ia mendefinisikan dirinya berdasarkan hashtag (#) yang ia tulis. 
      Para sosiolog mengungkapkan bahwa hashtag  membuat para penggunanya dapat mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam percakapan online, terkoneksi satu sama lain, membentuk komunitas virtual dengan latar belakang yang sama, memiliki kecenderungan yang sama misalnya (#iPhone), atau terlibat pada percakapan yang sama misalnya (#VoteForObama), (Yang dkk, 2012:1). Aparatus hashtag merupakan fasilitas yang unik dalam media sosial seperti twitter dan instagram. Namun, hashtag pada instagram semakin unik karena dapat dikaitkan dengan visualitas yang menjadi kekuatan instagram. Menurut Wendt, hashtag juga memiliki efek pada sebuah gambar, yaitu dapat mengubah gambar menjadi sebuah konsep yang sederhana (2014:33).  Untuk memahami gambar, pengguna instagram yang lain dapat memahami maksud produsen dengan hanya melihat hashtag.
            Selain dari visualitas, instagram juga mempunyai keunikan dengan adanya caption pada gambar atau foto. Caption berfungsi untuk memberikan keterangan pada gambar sehingga harapannya konsumen akan mengerti apa yang disampaikan oleh produsen dengan membaca caption.  Peranan bahasa atau lingusitik dalam sebuah gambar adalah hal yang penting karena metadata offers the ability to append linguistic signs to an image (or other data object), to facilitate its classification, archiving, retrieval and indicate provenance (authorship, ownership, conditions of use) (Rubinstein dan Sluis, 2013: 151). Caption yang berada di instagram berfungsi untuk mempermudah klasifikasi dari produsen kepada konsumen, sehingga imajinasi konsumen dapat dibatasi dengan adanya caption. Hal ini juga membuat instagram thus, is not just a way to produce images but it is also an active means for some people to establish their identities (Wendt, 2014:7).

Referensi

Hu Y, Mankikonda L, dan Kambhamati S. 2014. What We Instagram : A First Analysis of Instagram Photo Content User Types. Proceedings of the Eighth International AAAI Conference on Weblogs and Social Media. http://www.aaai.org/ocs/index.php/ICWSM/ICWSM14/paper/view/8118/8087 di akses 12 Juli 2015
Rubinstein, Daniel dan Katrina Sluis. 2013. Notes on the Margins of Metadata : Concerning the Undecidability of the Digital Image. University of the Arts London, http://ualresearchonline.arts.ac.uk/6238/1/DR_KS_Notes_on_the_Margins_of_Metadata.pdf. Akses 12 Juli 2015
Wendt, Brooke. 2014. The Allure of the Selfie : Instagram and the New Self-Portrait. Amsterdam : Institute of Network Cultures
Yang, Lei, Tao Sun, Ming Zhang, and Qiaozhu Mei. 2012. We Know What @You #Tag: Does the Dual Role Affect Hashtag Adoption? University of Michigan. http://www-personal.umich.edu/~qmei/pub/www2012-yang.pdf. Akses 12 Juli 2015

Rabu, 19 Agustus 2015

Explore Yogyakarta : Melihat Pelita di Taman Pelangi :D

Bercerita mengenai tempat wisata di Yogyakarta memang tidak akan ada habisnya, dari utara sampai selatan, Yogyakarta menawarkan keindahan panorama yang begitu mempesona. Sebut saja, mulai dari  wisata pantai hingga kawasan pegunungan, Yogyakarta memberikan ceritanya sendiri.

Kali ini saya tidak akan membahas wisata Yogyakarta baik pantai atau pegunungan, tetapi sebuah kawasan wisata di area Ring Road Utara Yogyakarta atau disebut kawasan Monjali (Monumen Yogya Kembali) yaitu Taman Pelangi atau lampion. Nah, jika sahabat pergi ke daerah wisata ini, maka sahabat bisa menikmati dua wisata sekaligus, yaitu melihat cerita perjuangan rakyat Yogyakarta di museumnya sekaligus pada malam hari bisa menikmati Taman Pelanginya.




Sebetulnya, saya dikatakan agak terlambat untuk berkunjung kesini, soalnya setiap saya rekomendasikan tempat ini banyak yang mengatakan “buat apa kesana, itu kan wisata anak-anak, HAHAHA” Nah, akhirnya gak jadi lagi :D. Tapi karena saya penasaran, ya akhirnya datang juga, ya gak apa-apa deh…kan masih berjiwa muda :p. First impression kesana, satu kata I-N-D-A-H, wooow. Ternyata, yang katanya pelangi muncul saat hujan telah reda itu salah besar, disini bahkan pelangi muncul saat tidak hujan dan malam hari lagi, keren kaaan J

Di sana suasananya hangat, romantis, dingin (karena malem-malem), menyenangkan, dan indah. Diantara pekatnya malam, ternyata hiasan lampu mampu menerangi malam yang gelap gulita dan memberi rasa tenang dalam hati…(yang ini lebay :D). Iya sih, kalau saya seneng lihat lampu-lampu lampion berwarna-warna yang buanyaaaak banget, kayanya yang tadinya bete langsung ceria dan berkata “waaaah…lampionnya banyak banget” sambil ekspresi terkejut gitu hihihi. Eits, jangan dibayangin lampionnya warna merah yang kaya sering diperayaan hari besar itu loh, lampionnya banyak banget bentuknya seperti bentuk ikan dilautan yang sedang berenang, hewan-hewan, sepeda, dan masih banyak lagi. Pokonya setiap spot jadi menarik aja :D Nah, tapi karena malam hari, saya sarankan pakai kamera yang bagus yaaa…sayang udah kesana tapi kamera tidak memadai jadi semua foto gelap gulita (kaya foto saya disana) :D



Terus, saya mikir…ko bisa disebut wisata anak-anak, eh iya….banyak anak-anak beserta ibu bapaknya, ya berarti kawasan ini adalah untuk wisata keluarga :D, walaupun ada juga muda-mudi yang ber-selfie-ria pake tongsis yang hits itu. Nah, ketika saya pergi kesana jam 18.30, ternyata banyak orang juga ya :D, iya sih harga tiket masuknya cuma Rp.10.000/orang, jadi tergolong murah ya. Dengan 10.000 itu, sahabat bisa masuk museum dan taman lampion. Selain itu, sahabat juga bisa menikmati fasilitas disana (tapi bayar) seperti ATV, Bola Air, Perahu Dayung, Batery Car, Auro Bungee, Trampolin, Junior Jet, Puri Hantu, Speed Boat, Helicak, Tandem, Safari Train, dan Becak Mini yang rata-rata harganya 10.000-20.000. Oh ya, jangan takut kelaperan juga, soalnya banyak (banget) makanan ko :D



Hmm, ya pokonya recommended banget deh tempatnya dan kayanya gak cukup sekali datengnya. Pengen lagi, lagi, dan lagi :D karena konsepnya berubah-ubah (mungkin biar pengunjung gak bosen kali ya). Okee, selamat berwisata ya sahabat sekalian di Yogyakarta :D

Kamis, 13 Agustus 2015

Ketika Fenomena 'Check' Menjadi Penting di Era Digital :D


Fitur Check pada Media Sosial 

            Akhir-akhir ini, hampir semua media sosial yang berkembang menawarkan satu fitur khusus yaitu check di aplikasinya. Beberapa media yang memiliki fitur ini adalah Path, Instagram, Facebook, dan Foursquare, namun dalam tulisan ini akan difokuskan pada media sosial Path dan Instagram. Fitur yang ditawarkan oleh beberapa media sosial ini bukan hanya check tempat saja untuk melihat posisi kita berada, bahkan di Path, pengguna dapat menggunakan fitur check ketika akan bangun dan  tidur di malam hari, check ketika sedang berolahraga sekaligus merk sepatu apa yang kita gunakan, check buku yang sedang dibaca, film yang telah ditonton, dan lagu yang sedang diperdengarkan. Sementara, Instagram biasanya digunakan untuk mengecek lokasi dimana kita berada dan tempat makan sekaligus makanan yang kita konsumsi.
            Kegiatan yang kita ‘check’ tersebut sekilas merupakan kegiatan berupa rutinitas sehari-hari, seperti aktivitas tidur, olahraga, makan, olahraga, membaca, menonton dsb. Namun, menjadi menarik ketika aktivitas sehari-hari tersebut termediakan dengan adanya fitur menarik yang membuat pengguna lain dapat memberikan komentar pada aktivitas yang kita lakukan. Secara garis besar, fenomena check yang terdapat pada media sosial adalah sebagai berikut :
           
1.      Check ketika bangun dan hendak tidur


Sumber : www.nyunyu.com

Fenomena check ketika bangun dan akan tidur ini dikenalkan oleh Path. Aktivitas check ini selain memberi informasi bahwa pengguna tersebut telah bangun atau akan tidur, juga dilengkapi dengan lokasi dimana ia tidur. Biasanya, nama lokasi yang muncul adalah berupa nama kota, sekaligus waktu, suhu udara, dan durasi tidur. Pengguna yang lain dapat memberikan komentar pada pengguna yang posting informasi tidurnya, termasuk komentar berupa emoticon dan teks. Selain itu, pengguna pun dapat mengetahui jumlah pengguna lain yang melihat status tidur yang ia tampilkan. Gambar di atas adalah salah satu pengguna Path yang menggunakan fitur check ketika bangun tidur. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa informasinya telah dilihat sebanyak 93 orang.

2.      Check tempat

Fenomena selanjutnya yang cukup menarik adalah check tempat, pengguna dapat memberi informasi pada pengguna lainnya mengenai keberadaanya. Check tempat ini dapat ditemukan pada Path dan Instagram. Salah satu jenis media sosial yaitu Path, bahkan dapat memberi informasi ketika penggunanya telah tiba di suatu tempat tertentu secara otomatis. Sementara, pengguna lain dengan leluasa dapat memberi komentar pada kolom yang disediakan oleh Path.



Sumber : www.nyunyu.com dan koleksi pribadi

Selain Path, Instagram juga menyediakan fitur check agar penggunanya dapat memberi informasi pada pengguna lainnya bahwa ia sedang berada di tempat tertentu. Contohnya adalah akun eatandtreats yang hampir seluruh postingannya adalah foto makanan. Dalam akunnya, makanan yang difoto adalah makanan mahal yang sangat mewah di restoran berkelas. Terkadang, akun eatandtreats juga mencantumkan lokasi restorannya.

3.      Check ketika olahraga



Sumber : www.nyunyu.com

Hal lain yang menarik di media sosial khususnya Path, kita dapat memberitahu pengguna lain bahwa kita telah selesai berolahraga di lokasi tertentu. Selain lokasi, kita juga dapat memberi informasi jenis olahraga apa yang kita lakukan dan durasi dalam melakukan olahraga tersebut.
Sebagai contoh, gambar di atas menunjukkan bahwa pengguna tersebut telah berlari sejauh lima kilometer dalam 46 menit di sekitar jalan Asia Afrika dan telah dilihat oleh 110 orang. Hal tersebut dapat diakses oleh Path karena adanya running shoes yang digunakan pengguna tersebut untuk berlari. Running shoes yang digunakan bukanlah running shoes biasa, tetapi adalah running shoes yang telah dilengkapi oleh GPS, sehingga dapat dikoneksikan ke media sosial. Setelah selesai berlari, trek jogging itu secara otomatis akan muncul di Path.

4.      Check lagu dan Film





Sumber : nyunyu.com dan koleksi pribadi

Path membuat penggunanya dapat memberitahu pengguna lainnya tentang lagu yang sedang didengarkan dan film yang sedang ditontonnya. Seperti yang terlihat pada gambar di atas bahwa pengguna sedang mendengarkan lagu dan menonton film tertentu. Pengguna juga dapat melihat jumlah pengguna lain yang melihat dan memberi komentar pada postingannya.

Fenomena Check dan Perubahan Masyarakat

            Fenomena check yang ada di hampir seluruh media sosial menunjukkan bahwa media memiliki peran yang penting di masyarakat, terutama setelah munculnya smartphone. Dengan smartphone, kehidupan manusia menjadi semakin mudah dan praktis, salah satunya manusia bisa memberi tahu informasi hal-hal terkait dirinya dengan adanya media sosial yang memberikan fitur check.
            Salah satu media sosial yang banyak menggunakan fitur check adalah Path. Path semakin dikenal dengan tema yang menjadi pembeda dengan media sosial lainnya yaitu sebagai jurnal digital. Dengan mengusung tema jurnal digital, pengguna dapat membagi aktivitasnya yang bersifat khusus atau privasi kepada publik. Nampaknya, semua fitur di Path dirancang agar pengguna dapat menampilkan diri termasuk gaya hidupnya ke hadapan publik, misalnya buku apa yang sedang dibaca, film apa yang ditonton, bahkan merk sepatu yang digunakan. Selain itu, Path juga cukup digemari dan berbeda dengan media sosial lainnya karena sifatnya yang eksklusif yaitu hanya dapat berteman dengan 150 orang.
            Dengan adanya hal-hal privasi yang dengan mudah diakses orang lain menjadikan media sosial sebagai sarana yang dapat menciptakan bias antara hal yang publik dan privat atau dengan kata lain tidak ada batasan atara yang publik dan privat, mana yang seharusnya dibagikan kepada orang lain dan yang tidak. Rutinitas individu yang dahulu tampak biasa saja dan sangat privasi menjadi ‘istimewa’ dan ‘publik’. Contohnya, jam tidur dan bangun termasuk durasinya adalah hal yang sangat pribadi, namun melalui media sosial, kita dapat mengetahui jam tidur dan bangun seseorang beserta durasi dan lokasi tidurnya. Dahulu, mungkin sebelum tidur kita berinteraksi dengan seseorang , dibacakan doa atau dongeng oleh orang tua, namun setelah kehadiran media sosial, khususnya Path, aktivitas bangun dan tidur dirancang sedemikian rupa agar kita selalu terikat dengan smartphone. Sehingga, ketika bangun dan hendak tidur, benda yang selalu kita cari adalah handphone karena Path mengharuskan penggunanya untuk menekan tombol sleep dan awake ketika akan tidur dan bangun. Bisa saja, pengguna Path tersebut memang sengaja menampilkan jam tidurnya hanya untuk menunggu pengguna lain mengucapkan “selamat pagi” atau “selamat malam” pada dirinya.
            Begitupun dengan hal lainnya, misalnya adalah check tempat. Para pengguna smartphone akhirnya selalu mencari tempat-tempat yang terkesan ‘mewah’ untuk menunjukkan kemampuan dirinya pergi ke tempat tersebut, biasanya di restoran mahal, tempat wisata, atau luar negeri. Dengan mengunjungi tempat tersebut, ia dapat menggunakan fitur check place pada media sosial untuk menunjukkan bahwa ia sedang berada di lokasi tersebut. Padahal, aktivitas makan dan jalan-jalan adalah aktivitas pribadi yang dahulu tidak ‘dipamerkan’, tetapi pada zaman digital ini, seluruh aspek kehidupan nampaknya telah terikat pada media. Sehingga, ketika akan makan, pengguna media sosial akan mengambil fotonya terlebih dahulu dan memajangnya di akun pribadi mereka.
            Hal ini juga didukung oleh merebaknya handphone canggih yang memiliki kamera belakang dan depan, sehingga nampak seperti memberikan fasilitas kepada pengguna untuk selalu eksis di media sosial. Selain itu, akses transportasi yang mudah dan murah juga memungkinkan masyarakat pergi berwisata dengan intensitas yang cukup sering. Tak lupa, setelah bepergian fotonya akan diunggah ke media sosial dengan mencantumkan dengan siapa ia pergi.
            Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana aktivitas olahraga, menonton, mendengarkan, dan membaca buku juga menjadi ‘penting’ untuk diinfokan pada pengguna lainnya. Aktivitas olahraga yang diunggah tentunya memunculkan suatu prestise tersendiri, karena status tersebut akan muncul bersama merk sepatu apa yang kita gunakan. Sehingga, semua pengguna akan tahu bahwa sepatu olahraga kita dilengkapi dengan GPS sehingga dapat terkoneksi dengan media sosial. Begitu juga dengan aktvitas mendengarkan music, membaca buku, dan menonton film. Pengguna lain akan mengetahui siapa kita dari aktivitas yang kita lakukan termasuk membaca buku, menonton film, dan mendengarkan music karena citra diri sebagai seseorang yang uptodate bisa saja nampak dari status-status yang diposting pada media sosial.
            Citra diri dapat ditunjukkan dengan status yang dibuat oleh pengguna. Biasanya pengguna akan memasang status yang seakan dapat menaikkan status sosial mereka, misalnya ketika dia tiba di daerah tertentu yang dipandang prestise, membeli makanan mahal di restoran mewah dsb. Tentunya, aktivitas yang diposting adalah aktivitas konsumsi produk kapitalisme yang akan menciptakan sebuah tatanan masyarakat berdasarkan pembedaan komoditi yang dikonsumsinya, hal inilah yang disebut Baudrillard sebagai consumer society. Pengguna media sosial tersebut berusaha menunjukkan apa yang mereka konsumsi untuk menjadi ciri bagi mereka. Menurut Kushendrawati eksistensi masyarakat konsumen “dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus-menerusnya mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi” (2011:48). Dengan kata lain, eksistensi seorang manusia ditentukan berdasarkan standar status sosialnya. Menurut Du Gay dalam Kushendrawati, identitas diri menjadi alasan konsumen melakukan kegiatan konsumsi yang sedang trend di masyarakat (mahal dan bermerk) agar dapat menentukan identitas dirinya (2011:49). Baudrillard menyebut konsumsi ini hanyalah sebatas konsumsi tanda-tanda semata.
            Hal ini yang terjadi pada pengguna media sosial dengan fitur checknya. Jika kita lihat, praktik konsumsi seakan difasilitasi untuk dibagikan kepada khalayak dengan fitur check. Praktek konsumsi yang dilakukan pengguna Path hanyalah sebatas konsumsi tanda-tanda yang digunakan agar menaikkan status sosialnya.
Akhirnya, media sosial seperti Path dan Instagram yang berbentuk seperti jurnal digital menjadikan para penggunanya bebas mengunggah aktivitas sehari-hari yang ia lakukan. Namun, hal-hal yang di tampilkan biasanya adalah aktivitas yang dapat menaikkan status sosial mereka, misalnya check in di luar negeri, memakai sepatu mahal dalam aktivitas olahraga dsb. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sebagian pengguna adalah kelas menengah yang membutuhkan simbol-simbol atau tanda-tanda untuk menaikkan status sosial mereka.
Masyarakat dengan konsumsi tanda-tanda ini, akhirnya menurut Debord hanya akan menjalin relasi sosial yang dimediasikan oleh citra atau spectacle. Citra menjadi penting untuk menunjukkan identitas sosialnya. Bahkan, Debord menyatakan bawa identitas masyarakat ini mengalami degradasi yaitu dari being-having-appearing (1997:120). Masyarakat tidak lagi menunjukkan identitas dirinya berdasarkan kebutuhan semata atau being-having, namun yang paling penting pada saat ini adalah appearing yaitu citra-citra diri yang ditampilkan, contohnya pada media sosial. Akhirnya, yang paling penting bukanlah being atau having, tetapi appearing yang memunculkan prestise. Sementara, media sosial berfungsi sebagai alat untuk menampung citra-citra diri yang ingin ditunjukkan oleh pengguna tersebut.
Citra-citra diri tentunya menjadi penting untuk menunjukkan identitas seseorang. Penunjukkan identitas diri melalui penggambaran diri atau self performance di internet dapat dilakukan melalui foto atau tulisan sebagai upaya individu untuk mengonstruk dirinya sehingga lingkungan sosial mau menerima keberadaan dan memiliki persepsi yang sama dengan individu tersebut (Nasrullah, 2013:172). Pada Path atau Instagram pengguna dapat mengonstruk dirinya dengan menampilkan foto-foto yang dapat menaikkan status sosialnya, agar pengguna lain memiliki persepsi sesuai yang diharapkan oleh pengguna. Hal ini akan menyebabkan identitas yang ditampilkan di media sosial dengan identitas dirinya bisa saja berbeda. Goffman menyebutkan bahwa hal ini seperti panggung drama yang terdiri dari front-stage (panggung depan) dan back-stage (panggung belakang). Pada panggung belakang, setiap pemain menyembunyikan identitas dirinya yang disebut sebagai ‘personal identity’, sementara yang ditampilkan di atas panggung adalah identitas sosial atau ‘social identity’ (dalam Nasrullah, 2013:172). Dapat dikatakan bahwa identitas yang ditunjukkan oleh para pengguna media sosial seperti berada pada panggung drama yang selalu menampilkan citra-citra terbaik untuk mengonstruk identitasnya dan berharap bahwa pengguna lain akan terkesan dengan memberikan komentar dsb pada postingannya tersebut, sementara identitas dirinya disembunyikan di belakang panggung.
Fenomena check yang berkembang di masyarakat selain menunjukkan adanya masyarakat konsumer, tontonan, dan juga sebagai panggung depan, media sosial pun juga berfungsi sebagai ruang untuk masyarakat biasa menunjukkan aktivitas kesehariannya, yang biasanya aktivitas mereka tidak pernah tersorot kamera. Dengan media sosial berbentuk jurnal digital, masyarakat biasa yang tidak memiliki jabatan atau bukan artis pun dapat membuat ceritanya sendiri. Kini media sosial membuat orang-orang biasa (ordinary people) menjadi orang yang istimewa, yaitu ketika orang biasa pun dapat tenar, muncul, terkenal di tengah-tengah masyarakat, dan bebas mengekspresikan dirinya dalam sebuah identitas sosial. Hal ini disebut Turner sebagai demotic turn, yaitu ketika adanya partisipasi yang meningkat dari orang-orang biasa di media (2010:6).  Sehingga, media menjadi sebuah sarana untuk orang-orang biasa berekspresi sesuai dengan kreativitasnya, demikian juga halnya dengan Path dan Instagram dan akhirnya hal-hal yang bersifat sederhana akan berubah menjadi luar biasa karena adanya media.


Referensi

Debord, Guy. 1997. “The Commodity as Spectacle.” Dalam Society of the Spectacle, paras. 1-18 dan 42. Detroit: Black & Red Books
Kushendrawati, Selu Margaretha. 2011. “Hiperealitas dan Ruang Publik”. Jakarta : Penaku
Nasrullah, Rulli. 2013. “Cyber Media”. Yogyakarta : Idea Press
Turner, Graeme. 2010. “Ordinary People and the Media. The Demotic Turn”. London : Sage

Web
www.nyunyu.com
           







Jumat, 07 Agustus 2015

Melihat Wacana Lokalitas dalam Sinetron Preman Pensiun dan Globalitas Sinetron Impor






   Sumber : wikipedia. org

Pendahuluan 


            Di Indonesia, sinetron nampaknya masih menjadi tayangan favorit masyarakat. Hingga kini tak terhitung berapa jumlah judul sinetron yang sudah diproduksi di Indonesia dengan beragam genre seperti drama, religi, komedi, action dan sebagainya. Antusiasme masyarakat pada sinetron membuat rating sinetron selalu tinggi, apalagi di bulan suci Ramadhan  yang selalu menayangkan salah satu genre khusus sinetron yaitu sinetron religi.
            Persaingan ketat antara sinetron religi terjadi di bulan Ramadhan. Beragam judul sinetron religi tayang pada saat sahur atau berbuka puasa di hampir seluruh stasiun televisi. Penonton di rumah yang menyukai sinetron nampak dimanjakan dengan hadirnya jenis sinetron religi pada saat bulan Ramadhan apalagi dengan aktris dan aktor yang cukup terkenal di Indonesia. Misalnya, Sinetron religi yang tayang menjelang berbuka beberapa waktu lalu adalah Sakinah Bersamamu (RCTI), Cinta di Langit Taj Mahal (Antv), dan Di Bawah Lindungan Abah (TransTV), sedangkan sinetron yang tayang ketika waktu sahur salah satunya adalah Para Pencari Tuhan (SCTV).
            Namun, selama bulan Ramadhan ini, layar kaca tidak hanya dihiasi oleh sinetron bertemakan religi saja, tetapi juga genre komedi. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat adalah sinetron Preman Pensiun yang ditayangkan oleh RCTI pada waktu menjelang berbuka puasa yaitu pukul 17.00 WIB.
            Preman Pensiun merupakan sinetron bergenre drama komedi yang diproduksi oleh MNC Pictures dan ANP Pictures. Sinetron Preman Pensiun ini menceritakan tentang kehidupan Kang Bahar yang merupakan bos dari preman-preman pasar dan terminal yang berada di wilayah Bandung, namun dikisahkan ia telah pensiun dari kehidupan preman tersebut. Kisah yang diceritakan bukanlah kisah Kang Bahar ketika masih menjadi bos preman, tetapi setelah ia pensiun. Ia juga memiliki tangan kanan yang bernama Muslihat. Sebelum menjadi tangan kanan Kang Bahar, Muslihat merupakan seorang pencuri yang mencoba melakukan tindak pencurian ke rumah Kang Bahar. Ia mencuri karena ibunya yang sedang sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat.
            Preman pensiun terbagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pertama dan sesi kedua. Sesi pertama tayang sejak tanggal 12 Januari 2015, sedangkan yang kedua tayang sejak 25 Mei 2015, yaitu menjelang Ramadhan. Sesi pertama menceritakan kang Bahar yang memutuskan untuk pensiun, sedangkan sesi dua menceritakan Kang Muslihat yang menggantikan posisi Kang Bahar sebagai pengatur preman-preman yang berada di pasar dan terminal. Kisah Preman Pensiun sesi kedua ini penuh dengan humor antara para pemainnya yang memiliki karakteristik berbeda-beda.
            Para pemain sinetron Preman Pensiun sangat khas dengan logat sunda yang kental. Misalnya Didi Petet yang berperan sebagai Kang Bahar atau Epy Kusnandar sebagai Kang Mus yang merupakan aktor Indonesia berdarah Sunda dan sering memerankan tokoh Sunda. Belum lagi karakter lain yang humoris sehingga mengundang gelak tawa dari para penonton, misalnya Mat Drajat yang memerankan Kang Komar. Kang Komar merupakan preman gondrong yang sangar tetapi sangat lembut pada istrinya yang disering dipanggil Bebeb. Selain itu ada juga Soraya Rasyid yang berperan sebagai Imas, pembantu kang Bahar yang polos dan lugu, Sandy Tile yang berperan sebagai Amin, supir Kang Bahar yang digambarkan polos, Tya Arifin yang memerankan Kinanti, anak Kang Bahar, serta tidak lupa para pencopet yaitu Icuk Nugroho yang memerankan Saep dengan kelihaiannya mencopet di angkot, Neni Nurdin yang berperan sebagai Junaedi, bos copet, Ucup Palentin yang memerankan Ubet, dan Dewi Novitasari yang memerankakan tokoh Dewi. Ubet dan Dewi dikisahkan tobat sebagai copet dan menjadi penjual cilok.
            Latar tempat sinetron Preman Pensiun ini yaitu di Bandung, terutama di terminal dan pasar jika para preman tengah berkumpul. Namun, terkadang juga mengambil lokasi syuting di gedung perkantoran dan rumah Kang Bahar yang juga berlokasi di Bandung. Kota Bandung menjadi ciri khas dari sinetron ini. Berbagai tempat yang menjadi ciri khas Bandung seperti alun-alun dan gedung sate juga kerap ditampilkan. Selain tempat, logat para pemain yang kental dengan logat sunda serta pilihan kata dan gaya bercanda ala kota kembang juga kerap ditampilkan.
            Hadirnya sinetron Preman Pensiun yang kental dengan nuansa Bandung dari pemain-pemainnya yang sebagian besar dari tanah Sunda, spot yang dipilih untuk menggambarkan suasana Bandung yang khas, makanan khas Bandung seperti Cuankie dan Cilok, transportasi umum Bandung yaitu angkot yang hilir mudik, serta bahasa Sunda yang terkadang diselipkan seperti naon, mah, atuh, teh dan sebagainya menjadikan sinetron ini layaknya representasi kota Bandung yang disajikan melalui media elektronik. Kelokalan yang ditampilkan cukup unik dan berani ditengah menjamurnya sinetron impor di layar kaca. Belakangan ini, Indonesia memang dibombardir dengan sinetron dari India seperti Jodha Akbar, Khrisna, Navya dsb, hingga sinetron asal Turki seperti Abad Kejayaan, yang semua tayangan tersebut ditayangkan di Antv. Selain itu, kini sinetron Elif dari Turki yang ditayangkan SCTV juga turut menyita perhatian masyarakat. Namun, sinetron Preman Pensiun semenjak kehadirannya sudah mulai mencuri perhatian penonton, hal ini dibuktikan dengan rating Preman Pensiun yang tinggi dan memimpin sinetron yang lain. Dilansir dari tabloid bintang bahwa sinetron Preman Pensiun 2 meraih TVR 3,9 dan TVS 22. Praktis, sinetron Preman Pensiun unggul di jam tayangnya. Bahkan sinetron keluarga yang banyak ditonton atau berada di posisi 1, Tukang Bubur Naik Haji, TVS-nya hanya 18,3.
            Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan, maka tulisan ini akan melihat wacana lokalitas yang terdapat dalam sinetron Preman Pensiun sebagai genre sinetron yang ditawarkan melawan arus serial impor yang sarat dengan nilai globalisasi.

Sinetron lokal vs Sinetron Impor

            Perkembangan jumlah produksi sinetron di Indonesia memang tidak dapat dihitung lagi. Beragam judul sinetron hingga melampaui ribuan episode dengan puluhan pemain nampaknya masih menarik minat masyarakat Indonesia. Namun, belakangan ini tidak hanya sinetron produksi dalam negeri yang mewarnai layar kaca masyarakat Indonesia, tetapi juga sinetron impor yang berasal dari luar negeri.
            Merebaknya sinetron atau serial yang berasal dari luar negeri, nampaknya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 90 an hingga 2000 an, Indonesia juga diserbu berbagai macam tayangan televisi yang berasal dari berbagai negara, seperti Amerika Latin, India, Korea, Amerika, China, dan Jepang. Namun, belakangan ini negara Turki cukup mendominasi di Indonesia, sehingga bukan hanya demam India, tetapi masyarakat kita pun demam serial yang berasal dari Turki. Serial Turki ini memang menarik perhatian masyarakat Indonesia karena ceritanya yang penuh dengan intrik dan pemainnya yang memiliki wajah tampan dan cantik.
            Masuknya tayangan yang berasal dari India dan Turki di tahun 2015 ini merupakan sebuah fenomena yang berasal dari mudahnya arus informasi dan budaya yang dapat diakses dan melampaui batas negara, atau dengan kata lain globalisasi juga turut mendorong masuknya serial ini. Arus globalisasi bukan hanya terkait dengan permaslahan ekonomi, tetapi juga makna kultural (Barker, 2000: 117). Proses infiltrasi kultural tentu saja dapat dilakukan dengan mudah dan akan berkembang secara cepat jika diaruskan melalui televisi.
            Televisi menawarkan arus globalisasi yang tidak dapat dibendung. Menurut Roberston (1992) yang dikutip dari Barker bahwa konsep globalisasi mengacu kepada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi-koneksi global dan pemahaman kita atas mereka (hal.117). Kini, dengan masuknya sinetron impor memungkinkan masyarakat Indonesia mengetahui kondisi kultural negara lain tanpa harus pergi ke negara tersebut. Misalnya, kisah kerajaan Mughal dapat kita peroleh melalui serial Jodha Akbar, atau kisah kesuksesan kerajaan Otoman pada kekhilafahan bisa dilihat pada tayangan King Suleiman. Walaupun tayangan tersebut tidak merepresentasikan hal yang terjadi sebenarnya atau hanya sekedar hiburan dan fiktif belaka, tetapi adanya koneksi global yang menghubungkan antara negara Indonesia dengan India dan Turki akan memberikan pemahaman sendiri terkait negara tersebut tanpa adanya kehadiran audien secara fisik.
            Sinetron merupakan sebuah produk kultural yang dapat berkembang secara pesat melampaui batas-batas negara. Barker menyebutkan bahwa sinetron atau opera sabun merupakan bentuk global karena sinetron merupakan cara bernarasi yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia dan bentuk acara televisi yang paling banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks kultural (2000:301). Sinetron sebagai salah satu program tentu memiliki ciri khas dengan narasinya yang ‘dekat’ dengan kehidupan masyarakat. Pemasalahan personal biasanya menjadi ciri khas dari sinetron, sehingga adanya intrik-intrik inilah menjadikan sinetron dapat dipahami oleh siapapun walaupun berada dalam konteks kultural yang berbeda. Masuknya sinetron impor, atau disebut sebagai suatu proses globalisasi televisi, sesungguhnya tidak dapat dihindarkan dari wacana kapitalisme, yang disebut Barker (2000:295) sebagai logika yang ekspansionis dan dinamis dalam petualangannya mencari komoditas dan pasar baru.
            Masuknya sinetron-sinetron impor, tentunya menjadi perhatian tersendiri bagi para produser dan sutradara sinetron dalam negeri agar bisa bersaing dengan sinetron impor yang tidak dapat dibendung. Salah satunya, adalah Aris Nugraha sang sutradara dan penulis dibalik pembuatan sinetron Preman Pensiun yang memiliki ide kreatif dan cemerlang untuk membuat sebuah sinetron yang kental dengan nilai-nilai kelokalan tatar sunda. Kemampuan Aris sebagai penggagas dan penulis skenario dituangkan secara mendetail dalam karakter yang berada dalam sinetron. Misalnya saja karakter Kang Muslihat yang berperawakan kecil tapi tegas menjadi ciri khas tersendiri karena ia adalah pemimpin dari preman-preman pasar dan terminal di kota Bandung. Keberhasilan sinetron mengangkat isu lokal juga disinggung oleh Barker yang menyatakan keberhasilan opera sabun juga mencerminkan adanya kemungkinan yang ditawarkan kepada penonton untuk mengikuti isu lokal atau isu regional yang terdapat di tempat-tempat ‘nyata’ yang dapat dikenali. (2000:301). Secara tidak langsung, penonton seakan menghadirkan dirinya dalam suasana Kesundaan yang kental ketika menonton Preman Pensiun. Melalui sinetron ini, penonton juga diajak melihat perspektif lain, yaitu kehidupan sosial para preman, pencopet, pedagang cilok, dan satpam yang biasanya tidak pernah disorot di televisi. Mendekatkan diri pada kehidupan masyarakat bawah adalah sama halnya dengan melihat isu lokal yang berada di daerah-daerah Indonesia.

Imaji Lokal dalam Sinetron Preman Pensiun

            Perkembangan dunia layar kaca di Indonesia merupakan sebuah proses yang panjang. Dahulu, TVRI sebagai televisi milik pemerintah sangat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga berhasil membangun citra pemerintah pada saat itu yang identik dengan pembangunan. Selain itu, konstruksi, citra, dan gambaran tentang Indonesia seringkali dibangun melalui tayangan yang berada di TVRI. Namun, hal ini terus berkembang hingga Indonesia memiliki stasiun televisi swasta yang tentunya konstruk pembangunan tidak begitu kental seperti yang ditayangkan oleh TVRI.
            Menurut Guiness (1994:285) dalam Irawanto, imaji (image) tentang Indonesia modern yang dipromosikan lewat televisi dan media penyiaran pemerintah serta diperkuat oleh para pejabat pemerintah adalah gaya hidup kelas menengah kota dan terdidik (hal. 54). Imaji tentang Indonesia yang modern, kuat, damai, dan sejahtera tentu merupakan tugas utama televisi milik pemerintah, sehingga masyarakat benar-benar percaya dengan apa yang ditayangkan melalui TV nasional mereka. Namun, masih menurut Irawanto bahwa ketika televisi swasta hadir di Indonesia dahulu, imaji yang dibangun tetap saja kehidupan kelas menengah, urban, dan modern yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya ( hal. 55). Nampaknya, citra yang ditampilkan di layar kaca tidak mengalami perubahan berarti, bahwa seakan-akan audiens yang menonton hanyalah mereka yang berasal dari kalangan menengah, urban, serta tinggal di kota-kota besar, sehingga yang ditampilkan tentunya adalah kehidupan yang berasal dari kelas menengah saja. Jika ada berita, tentunya berita yang ditampilkan adalah permasalahan di kota besar atau ketika tayangan televisi tersebut menayangkan sinetron dan alur ceritanya pun mengikuti logika masyarakat urban. Sehingga, tayangan televisi masihlah bersifat Jakartasentris dengan lika-liku hidup perkotaannya.
            Meski demikian, belakangan ini tidak semua sinetron menayangkan hal yang identik dengan kelas menengah serta kehidupan perkotaannya. Imaji tentang modernitas berubah seiring dengan alur cerita dan latar tempat variatif dalam tayangan televisi. Menurut Hall, 1970: 40 dalam Barker 

[t]elevisi berdampak pada ‘ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita memersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami (2000: 275)

Imajinasi sosial mengenai masyarakat kelas bawah seperti preman dan pencopet, akan membantu penonton memersepsikan “dunia” yang dijalani oleh mereka, sehingga memberikan perspektif baru pada penonton. Seperti halnya dengan Preman Pensiun yang mengambil latar tempat di Bandung, yang dapat disebut sebagai salah satu kota besar di Indonesia dengan gaya urbannya, tetapi hadir dengan tidak menyoroti kelas menengah di kota tersebut. Preman Pensiun justru hadir dengan perspektif kelas bawah, yaitu kehidupan preman dan lika-likunya untuk bertahan hidup di kota besar. Sekaligus, Preman Pensiun menyajikan permasalahan sosial yang jarang diangkat ke layar kaca, yaitu adanya premanisme di kota besar.
            Preman Pensiun menggambarkan kehidupan para preman dan pencopet yang identik dengan kelas bawah harus berhadapan dengan modernitas Bandung. Aspek lokalitas yang kental menjadi ciri khas tersendiri dalam sinetron ini hingga menjadi imaji sinetron Indonesia yang berkembang saat ini. Sebelumnya, banyak sinetron yang menawarkan perspektif berbeda, misalnya Bajaj Bajuri, Si Doel dsb, tetapi sinetron tersebut merupakan bagian kecil dari etnis Betawi yang juga berada di Jakarta selaku ibu kota negara Indonesia. Jika selama ini, kehidupan perkotaan menjadi sesuatu yang “wajib” hadir dalam tayangan televisi, namun kini beragam perspektif dan wacana kelokalan dapat menjadi alternatif dan tren tersendiri pada tayangan televisi.
            Imaji kelokalan dalam sinetron Preman Pensiun memang dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari para tokohnya. Walaupun dikisahkan tokoh tersebut adalah pencopet dan preman pasar, tetapi masih kental pada nilai-nilai religiusitas yang berada pada masyarakat Indonesia. Seperti di salah satu episodenya dikisahkan bahwa para preman tersebut juga menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan senantiasa menahan perilaku-perilaku kasar mereka pada orang lain. Selaku pimpinan dari para preman, Kang Mus juga kerap memastikan anak buahnya berpuasa. Misalnya, Kang Mus yang mengatakan pada anak buahnya yang tidak berpuasa, “Memangnya kamu tidak malu ikut lebaran, kamu kan tidak berpuasa”, atau dikisahkan ketika Kang Mus juga membeli baju koko dan sarung yang identik dengan simbol agama Islam di Indonesia. Selain Kang Mus, anak buahnya pun digambarkan menjalankan ibadah puasa, misalnya Kang Komar yang berkata “saya kalau marah sama dia, nanti saja sudah maghrib” atau Dikdik yang berkata “saya mau ngabuburit sama Imas sambil nunggu puasa”. Dari beberapa episode yang ditayangkan, dapat dilihat bahwa nilai religiusitas menjadi ciri khas para preman ini. Sehingga, sinetron ini menegosiasikan nilai religiusitas Islam yang kental dengan para preman tersebut.
            Nampaknya, sinetron ini juga ingin membantah sterotip negatif yang berkembang bahwa preman itu biasanya berhati jahat, suka kekerasan, dsb sekaligus turut mempromosikan kota Bandung dan segala fasilitas publiknya. Dikisahkan dalam sinetron, misalnya Kang Komar yaitu preman yang sangat tegas namun sangat lembut pada istrinya. Tidak hanya Kang Komar, tetapi Kang Mus, dan Kang Bahar pun demikian, mereka sangat menyayangi istri mereka. Kang Bahar memutuskan pensiun jadi preman karena istrinya sebelum meninggal dunia meminta berkumpul dengan Kang Bahar di Surga. Kang Bahar berpikir bahwa untuk masuk surga, ia harus berhenti menjadi preman. Selain itu, Kang Mus selaku bos preman pun akan sangat marah jika ada anak buahnya yang mengambil hak milik orang lain. Dengan demikian, sinetron Preman Pensiun ini juga memberikan satu perspektif baru terkait stereotip preman yang biasanya dinilai negatif.

Penutup
            Di tengah berkembangnya sinetron impor yang berasal dari India dan Turki, kehadiran sinetron Preman Pensiun menjadi alternatif tersendiri bagi penonton di Indonesia. Wacana kelokalan yang kental menjadi ciri khasnya yang ditampilkan melalui pemain, latar tempat, bahasa, dan isu sosial yang berkembang. Sinetron Preman Pensiun kemudian memberikan perspektif berbeda pada masyarakat mengenai kehidupan preman dan pencopet yang biasanya distereotipkan negatif, namun kehidupan preman dalam sinetron ini juga merupakan negosiasi pada nilai religius keislaman di Indonesia.


Referensi 
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Irawanto, Budi. Menertawakan Kejelataan Kita : Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Juni 2006 : 49-62