Laman

Kamis, 13 Agustus 2015

Ketika Fenomena 'Check' Menjadi Penting di Era Digital :D


Fitur Check pada Media Sosial 

            Akhir-akhir ini, hampir semua media sosial yang berkembang menawarkan satu fitur khusus yaitu check di aplikasinya. Beberapa media yang memiliki fitur ini adalah Path, Instagram, Facebook, dan Foursquare, namun dalam tulisan ini akan difokuskan pada media sosial Path dan Instagram. Fitur yang ditawarkan oleh beberapa media sosial ini bukan hanya check tempat saja untuk melihat posisi kita berada, bahkan di Path, pengguna dapat menggunakan fitur check ketika akan bangun dan  tidur di malam hari, check ketika sedang berolahraga sekaligus merk sepatu apa yang kita gunakan, check buku yang sedang dibaca, film yang telah ditonton, dan lagu yang sedang diperdengarkan. Sementara, Instagram biasanya digunakan untuk mengecek lokasi dimana kita berada dan tempat makan sekaligus makanan yang kita konsumsi.
            Kegiatan yang kita ‘check’ tersebut sekilas merupakan kegiatan berupa rutinitas sehari-hari, seperti aktivitas tidur, olahraga, makan, olahraga, membaca, menonton dsb. Namun, menjadi menarik ketika aktivitas sehari-hari tersebut termediakan dengan adanya fitur menarik yang membuat pengguna lain dapat memberikan komentar pada aktivitas yang kita lakukan. Secara garis besar, fenomena check yang terdapat pada media sosial adalah sebagai berikut :
           
1.      Check ketika bangun dan hendak tidur


Sumber : www.nyunyu.com

Fenomena check ketika bangun dan akan tidur ini dikenalkan oleh Path. Aktivitas check ini selain memberi informasi bahwa pengguna tersebut telah bangun atau akan tidur, juga dilengkapi dengan lokasi dimana ia tidur. Biasanya, nama lokasi yang muncul adalah berupa nama kota, sekaligus waktu, suhu udara, dan durasi tidur. Pengguna yang lain dapat memberikan komentar pada pengguna yang posting informasi tidurnya, termasuk komentar berupa emoticon dan teks. Selain itu, pengguna pun dapat mengetahui jumlah pengguna lain yang melihat status tidur yang ia tampilkan. Gambar di atas adalah salah satu pengguna Path yang menggunakan fitur check ketika bangun tidur. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa informasinya telah dilihat sebanyak 93 orang.

2.      Check tempat

Fenomena selanjutnya yang cukup menarik adalah check tempat, pengguna dapat memberi informasi pada pengguna lainnya mengenai keberadaanya. Check tempat ini dapat ditemukan pada Path dan Instagram. Salah satu jenis media sosial yaitu Path, bahkan dapat memberi informasi ketika penggunanya telah tiba di suatu tempat tertentu secara otomatis. Sementara, pengguna lain dengan leluasa dapat memberi komentar pada kolom yang disediakan oleh Path.



Sumber : www.nyunyu.com dan koleksi pribadi

Selain Path, Instagram juga menyediakan fitur check agar penggunanya dapat memberi informasi pada pengguna lainnya bahwa ia sedang berada di tempat tertentu. Contohnya adalah akun eatandtreats yang hampir seluruh postingannya adalah foto makanan. Dalam akunnya, makanan yang difoto adalah makanan mahal yang sangat mewah di restoran berkelas. Terkadang, akun eatandtreats juga mencantumkan lokasi restorannya.

3.      Check ketika olahraga



Sumber : www.nyunyu.com

Hal lain yang menarik di media sosial khususnya Path, kita dapat memberitahu pengguna lain bahwa kita telah selesai berolahraga di lokasi tertentu. Selain lokasi, kita juga dapat memberi informasi jenis olahraga apa yang kita lakukan dan durasi dalam melakukan olahraga tersebut.
Sebagai contoh, gambar di atas menunjukkan bahwa pengguna tersebut telah berlari sejauh lima kilometer dalam 46 menit di sekitar jalan Asia Afrika dan telah dilihat oleh 110 orang. Hal tersebut dapat diakses oleh Path karena adanya running shoes yang digunakan pengguna tersebut untuk berlari. Running shoes yang digunakan bukanlah running shoes biasa, tetapi adalah running shoes yang telah dilengkapi oleh GPS, sehingga dapat dikoneksikan ke media sosial. Setelah selesai berlari, trek jogging itu secara otomatis akan muncul di Path.

4.      Check lagu dan Film





Sumber : nyunyu.com dan koleksi pribadi

Path membuat penggunanya dapat memberitahu pengguna lainnya tentang lagu yang sedang didengarkan dan film yang sedang ditontonnya. Seperti yang terlihat pada gambar di atas bahwa pengguna sedang mendengarkan lagu dan menonton film tertentu. Pengguna juga dapat melihat jumlah pengguna lain yang melihat dan memberi komentar pada postingannya.

Fenomena Check dan Perubahan Masyarakat

            Fenomena check yang ada di hampir seluruh media sosial menunjukkan bahwa media memiliki peran yang penting di masyarakat, terutama setelah munculnya smartphone. Dengan smartphone, kehidupan manusia menjadi semakin mudah dan praktis, salah satunya manusia bisa memberi tahu informasi hal-hal terkait dirinya dengan adanya media sosial yang memberikan fitur check.
            Salah satu media sosial yang banyak menggunakan fitur check adalah Path. Path semakin dikenal dengan tema yang menjadi pembeda dengan media sosial lainnya yaitu sebagai jurnal digital. Dengan mengusung tema jurnal digital, pengguna dapat membagi aktivitasnya yang bersifat khusus atau privasi kepada publik. Nampaknya, semua fitur di Path dirancang agar pengguna dapat menampilkan diri termasuk gaya hidupnya ke hadapan publik, misalnya buku apa yang sedang dibaca, film apa yang ditonton, bahkan merk sepatu yang digunakan. Selain itu, Path juga cukup digemari dan berbeda dengan media sosial lainnya karena sifatnya yang eksklusif yaitu hanya dapat berteman dengan 150 orang.
            Dengan adanya hal-hal privasi yang dengan mudah diakses orang lain menjadikan media sosial sebagai sarana yang dapat menciptakan bias antara hal yang publik dan privat atau dengan kata lain tidak ada batasan atara yang publik dan privat, mana yang seharusnya dibagikan kepada orang lain dan yang tidak. Rutinitas individu yang dahulu tampak biasa saja dan sangat privasi menjadi ‘istimewa’ dan ‘publik’. Contohnya, jam tidur dan bangun termasuk durasinya adalah hal yang sangat pribadi, namun melalui media sosial, kita dapat mengetahui jam tidur dan bangun seseorang beserta durasi dan lokasi tidurnya. Dahulu, mungkin sebelum tidur kita berinteraksi dengan seseorang , dibacakan doa atau dongeng oleh orang tua, namun setelah kehadiran media sosial, khususnya Path, aktivitas bangun dan tidur dirancang sedemikian rupa agar kita selalu terikat dengan smartphone. Sehingga, ketika bangun dan hendak tidur, benda yang selalu kita cari adalah handphone karena Path mengharuskan penggunanya untuk menekan tombol sleep dan awake ketika akan tidur dan bangun. Bisa saja, pengguna Path tersebut memang sengaja menampilkan jam tidurnya hanya untuk menunggu pengguna lain mengucapkan “selamat pagi” atau “selamat malam” pada dirinya.
            Begitupun dengan hal lainnya, misalnya adalah check tempat. Para pengguna smartphone akhirnya selalu mencari tempat-tempat yang terkesan ‘mewah’ untuk menunjukkan kemampuan dirinya pergi ke tempat tersebut, biasanya di restoran mahal, tempat wisata, atau luar negeri. Dengan mengunjungi tempat tersebut, ia dapat menggunakan fitur check place pada media sosial untuk menunjukkan bahwa ia sedang berada di lokasi tersebut. Padahal, aktivitas makan dan jalan-jalan adalah aktivitas pribadi yang dahulu tidak ‘dipamerkan’, tetapi pada zaman digital ini, seluruh aspek kehidupan nampaknya telah terikat pada media. Sehingga, ketika akan makan, pengguna media sosial akan mengambil fotonya terlebih dahulu dan memajangnya di akun pribadi mereka.
            Hal ini juga didukung oleh merebaknya handphone canggih yang memiliki kamera belakang dan depan, sehingga nampak seperti memberikan fasilitas kepada pengguna untuk selalu eksis di media sosial. Selain itu, akses transportasi yang mudah dan murah juga memungkinkan masyarakat pergi berwisata dengan intensitas yang cukup sering. Tak lupa, setelah bepergian fotonya akan diunggah ke media sosial dengan mencantumkan dengan siapa ia pergi.
            Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana aktivitas olahraga, menonton, mendengarkan, dan membaca buku juga menjadi ‘penting’ untuk diinfokan pada pengguna lainnya. Aktivitas olahraga yang diunggah tentunya memunculkan suatu prestise tersendiri, karena status tersebut akan muncul bersama merk sepatu apa yang kita gunakan. Sehingga, semua pengguna akan tahu bahwa sepatu olahraga kita dilengkapi dengan GPS sehingga dapat terkoneksi dengan media sosial. Begitu juga dengan aktvitas mendengarkan music, membaca buku, dan menonton film. Pengguna lain akan mengetahui siapa kita dari aktivitas yang kita lakukan termasuk membaca buku, menonton film, dan mendengarkan music karena citra diri sebagai seseorang yang uptodate bisa saja nampak dari status-status yang diposting pada media sosial.
            Citra diri dapat ditunjukkan dengan status yang dibuat oleh pengguna. Biasanya pengguna akan memasang status yang seakan dapat menaikkan status sosial mereka, misalnya ketika dia tiba di daerah tertentu yang dipandang prestise, membeli makanan mahal di restoran mewah dsb. Tentunya, aktivitas yang diposting adalah aktivitas konsumsi produk kapitalisme yang akan menciptakan sebuah tatanan masyarakat berdasarkan pembedaan komoditi yang dikonsumsinya, hal inilah yang disebut Baudrillard sebagai consumer society. Pengguna media sosial tersebut berusaha menunjukkan apa yang mereka konsumsi untuk menjadi ciri bagi mereka. Menurut Kushendrawati eksistensi masyarakat konsumen “dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus-menerusnya mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi” (2011:48). Dengan kata lain, eksistensi seorang manusia ditentukan berdasarkan standar status sosialnya. Menurut Du Gay dalam Kushendrawati, identitas diri menjadi alasan konsumen melakukan kegiatan konsumsi yang sedang trend di masyarakat (mahal dan bermerk) agar dapat menentukan identitas dirinya (2011:49). Baudrillard menyebut konsumsi ini hanyalah sebatas konsumsi tanda-tanda semata.
            Hal ini yang terjadi pada pengguna media sosial dengan fitur checknya. Jika kita lihat, praktik konsumsi seakan difasilitasi untuk dibagikan kepada khalayak dengan fitur check. Praktek konsumsi yang dilakukan pengguna Path hanyalah sebatas konsumsi tanda-tanda yang digunakan agar menaikkan status sosialnya.
Akhirnya, media sosial seperti Path dan Instagram yang berbentuk seperti jurnal digital menjadikan para penggunanya bebas mengunggah aktivitas sehari-hari yang ia lakukan. Namun, hal-hal yang di tampilkan biasanya adalah aktivitas yang dapat menaikkan status sosial mereka, misalnya check in di luar negeri, memakai sepatu mahal dalam aktivitas olahraga dsb. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sebagian pengguna adalah kelas menengah yang membutuhkan simbol-simbol atau tanda-tanda untuk menaikkan status sosial mereka.
Masyarakat dengan konsumsi tanda-tanda ini, akhirnya menurut Debord hanya akan menjalin relasi sosial yang dimediasikan oleh citra atau spectacle. Citra menjadi penting untuk menunjukkan identitas sosialnya. Bahkan, Debord menyatakan bawa identitas masyarakat ini mengalami degradasi yaitu dari being-having-appearing (1997:120). Masyarakat tidak lagi menunjukkan identitas dirinya berdasarkan kebutuhan semata atau being-having, namun yang paling penting pada saat ini adalah appearing yaitu citra-citra diri yang ditampilkan, contohnya pada media sosial. Akhirnya, yang paling penting bukanlah being atau having, tetapi appearing yang memunculkan prestise. Sementara, media sosial berfungsi sebagai alat untuk menampung citra-citra diri yang ingin ditunjukkan oleh pengguna tersebut.
Citra-citra diri tentunya menjadi penting untuk menunjukkan identitas seseorang. Penunjukkan identitas diri melalui penggambaran diri atau self performance di internet dapat dilakukan melalui foto atau tulisan sebagai upaya individu untuk mengonstruk dirinya sehingga lingkungan sosial mau menerima keberadaan dan memiliki persepsi yang sama dengan individu tersebut (Nasrullah, 2013:172). Pada Path atau Instagram pengguna dapat mengonstruk dirinya dengan menampilkan foto-foto yang dapat menaikkan status sosialnya, agar pengguna lain memiliki persepsi sesuai yang diharapkan oleh pengguna. Hal ini akan menyebabkan identitas yang ditampilkan di media sosial dengan identitas dirinya bisa saja berbeda. Goffman menyebutkan bahwa hal ini seperti panggung drama yang terdiri dari front-stage (panggung depan) dan back-stage (panggung belakang). Pada panggung belakang, setiap pemain menyembunyikan identitas dirinya yang disebut sebagai ‘personal identity’, sementara yang ditampilkan di atas panggung adalah identitas sosial atau ‘social identity’ (dalam Nasrullah, 2013:172). Dapat dikatakan bahwa identitas yang ditunjukkan oleh para pengguna media sosial seperti berada pada panggung drama yang selalu menampilkan citra-citra terbaik untuk mengonstruk identitasnya dan berharap bahwa pengguna lain akan terkesan dengan memberikan komentar dsb pada postingannya tersebut, sementara identitas dirinya disembunyikan di belakang panggung.
Fenomena check yang berkembang di masyarakat selain menunjukkan adanya masyarakat konsumer, tontonan, dan juga sebagai panggung depan, media sosial pun juga berfungsi sebagai ruang untuk masyarakat biasa menunjukkan aktivitas kesehariannya, yang biasanya aktivitas mereka tidak pernah tersorot kamera. Dengan media sosial berbentuk jurnal digital, masyarakat biasa yang tidak memiliki jabatan atau bukan artis pun dapat membuat ceritanya sendiri. Kini media sosial membuat orang-orang biasa (ordinary people) menjadi orang yang istimewa, yaitu ketika orang biasa pun dapat tenar, muncul, terkenal di tengah-tengah masyarakat, dan bebas mengekspresikan dirinya dalam sebuah identitas sosial. Hal ini disebut Turner sebagai demotic turn, yaitu ketika adanya partisipasi yang meningkat dari orang-orang biasa di media (2010:6).  Sehingga, media menjadi sebuah sarana untuk orang-orang biasa berekspresi sesuai dengan kreativitasnya, demikian juga halnya dengan Path dan Instagram dan akhirnya hal-hal yang bersifat sederhana akan berubah menjadi luar biasa karena adanya media.


Referensi

Debord, Guy. 1997. “The Commodity as Spectacle.” Dalam Society of the Spectacle, paras. 1-18 dan 42. Detroit: Black & Red Books
Kushendrawati, Selu Margaretha. 2011. “Hiperealitas dan Ruang Publik”. Jakarta : Penaku
Nasrullah, Rulli. 2013. “Cyber Media”. Yogyakarta : Idea Press
Turner, Graeme. 2010. “Ordinary People and the Media. The Demotic Turn”. London : Sage

Web
www.nyunyu.com
           







4 komentar:

  1. Wow .jaman sekarang privasi lokasi pun bukan sesuatu yang tabu di ceritakan lagi ya...tapi memang berguna untuk membangun image.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul mak, di jaman skrg citra diri menjadi penting hingga hal hal yg privasi sudah terlampaui 😁

      Hapus
  2. Iya sih. Kalo ada apa-apa, misalnya hilang diculik, maka korban bisa lebih mudah dilacak. Tapi sisi buruknya, bisa mengundang kejahatan juga karena orang jadi tahu ke mana yang bersangkutan pergi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul mak, teknologi itu seperti pedang bersisi dua, ada positif dan negatifnya ya mak...

      Hapus