Laman

Jumat, 07 Agustus 2015

Melihat Wacana Lokalitas dalam Sinetron Preman Pensiun dan Globalitas Sinetron Impor






   Sumber : wikipedia. org

Pendahuluan 


            Di Indonesia, sinetron nampaknya masih menjadi tayangan favorit masyarakat. Hingga kini tak terhitung berapa jumlah judul sinetron yang sudah diproduksi di Indonesia dengan beragam genre seperti drama, religi, komedi, action dan sebagainya. Antusiasme masyarakat pada sinetron membuat rating sinetron selalu tinggi, apalagi di bulan suci Ramadhan  yang selalu menayangkan salah satu genre khusus sinetron yaitu sinetron religi.
            Persaingan ketat antara sinetron religi terjadi di bulan Ramadhan. Beragam judul sinetron religi tayang pada saat sahur atau berbuka puasa di hampir seluruh stasiun televisi. Penonton di rumah yang menyukai sinetron nampak dimanjakan dengan hadirnya jenis sinetron religi pada saat bulan Ramadhan apalagi dengan aktris dan aktor yang cukup terkenal di Indonesia. Misalnya, Sinetron religi yang tayang menjelang berbuka beberapa waktu lalu adalah Sakinah Bersamamu (RCTI), Cinta di Langit Taj Mahal (Antv), dan Di Bawah Lindungan Abah (TransTV), sedangkan sinetron yang tayang ketika waktu sahur salah satunya adalah Para Pencari Tuhan (SCTV).
            Namun, selama bulan Ramadhan ini, layar kaca tidak hanya dihiasi oleh sinetron bertemakan religi saja, tetapi juga genre komedi. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat adalah sinetron Preman Pensiun yang ditayangkan oleh RCTI pada waktu menjelang berbuka puasa yaitu pukul 17.00 WIB.
            Preman Pensiun merupakan sinetron bergenre drama komedi yang diproduksi oleh MNC Pictures dan ANP Pictures. Sinetron Preman Pensiun ini menceritakan tentang kehidupan Kang Bahar yang merupakan bos dari preman-preman pasar dan terminal yang berada di wilayah Bandung, namun dikisahkan ia telah pensiun dari kehidupan preman tersebut. Kisah yang diceritakan bukanlah kisah Kang Bahar ketika masih menjadi bos preman, tetapi setelah ia pensiun. Ia juga memiliki tangan kanan yang bernama Muslihat. Sebelum menjadi tangan kanan Kang Bahar, Muslihat merupakan seorang pencuri yang mencoba melakukan tindak pencurian ke rumah Kang Bahar. Ia mencuri karena ibunya yang sedang sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat.
            Preman pensiun terbagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pertama dan sesi kedua. Sesi pertama tayang sejak tanggal 12 Januari 2015, sedangkan yang kedua tayang sejak 25 Mei 2015, yaitu menjelang Ramadhan. Sesi pertama menceritakan kang Bahar yang memutuskan untuk pensiun, sedangkan sesi dua menceritakan Kang Muslihat yang menggantikan posisi Kang Bahar sebagai pengatur preman-preman yang berada di pasar dan terminal. Kisah Preman Pensiun sesi kedua ini penuh dengan humor antara para pemainnya yang memiliki karakteristik berbeda-beda.
            Para pemain sinetron Preman Pensiun sangat khas dengan logat sunda yang kental. Misalnya Didi Petet yang berperan sebagai Kang Bahar atau Epy Kusnandar sebagai Kang Mus yang merupakan aktor Indonesia berdarah Sunda dan sering memerankan tokoh Sunda. Belum lagi karakter lain yang humoris sehingga mengundang gelak tawa dari para penonton, misalnya Mat Drajat yang memerankan Kang Komar. Kang Komar merupakan preman gondrong yang sangar tetapi sangat lembut pada istrinya yang disering dipanggil Bebeb. Selain itu ada juga Soraya Rasyid yang berperan sebagai Imas, pembantu kang Bahar yang polos dan lugu, Sandy Tile yang berperan sebagai Amin, supir Kang Bahar yang digambarkan polos, Tya Arifin yang memerankan Kinanti, anak Kang Bahar, serta tidak lupa para pencopet yaitu Icuk Nugroho yang memerankan Saep dengan kelihaiannya mencopet di angkot, Neni Nurdin yang berperan sebagai Junaedi, bos copet, Ucup Palentin yang memerankan Ubet, dan Dewi Novitasari yang memerankakan tokoh Dewi. Ubet dan Dewi dikisahkan tobat sebagai copet dan menjadi penjual cilok.
            Latar tempat sinetron Preman Pensiun ini yaitu di Bandung, terutama di terminal dan pasar jika para preman tengah berkumpul. Namun, terkadang juga mengambil lokasi syuting di gedung perkantoran dan rumah Kang Bahar yang juga berlokasi di Bandung. Kota Bandung menjadi ciri khas dari sinetron ini. Berbagai tempat yang menjadi ciri khas Bandung seperti alun-alun dan gedung sate juga kerap ditampilkan. Selain tempat, logat para pemain yang kental dengan logat sunda serta pilihan kata dan gaya bercanda ala kota kembang juga kerap ditampilkan.
            Hadirnya sinetron Preman Pensiun yang kental dengan nuansa Bandung dari pemain-pemainnya yang sebagian besar dari tanah Sunda, spot yang dipilih untuk menggambarkan suasana Bandung yang khas, makanan khas Bandung seperti Cuankie dan Cilok, transportasi umum Bandung yaitu angkot yang hilir mudik, serta bahasa Sunda yang terkadang diselipkan seperti naon, mah, atuh, teh dan sebagainya menjadikan sinetron ini layaknya representasi kota Bandung yang disajikan melalui media elektronik. Kelokalan yang ditampilkan cukup unik dan berani ditengah menjamurnya sinetron impor di layar kaca. Belakangan ini, Indonesia memang dibombardir dengan sinetron dari India seperti Jodha Akbar, Khrisna, Navya dsb, hingga sinetron asal Turki seperti Abad Kejayaan, yang semua tayangan tersebut ditayangkan di Antv. Selain itu, kini sinetron Elif dari Turki yang ditayangkan SCTV juga turut menyita perhatian masyarakat. Namun, sinetron Preman Pensiun semenjak kehadirannya sudah mulai mencuri perhatian penonton, hal ini dibuktikan dengan rating Preman Pensiun yang tinggi dan memimpin sinetron yang lain. Dilansir dari tabloid bintang bahwa sinetron Preman Pensiun 2 meraih TVR 3,9 dan TVS 22. Praktis, sinetron Preman Pensiun unggul di jam tayangnya. Bahkan sinetron keluarga yang banyak ditonton atau berada di posisi 1, Tukang Bubur Naik Haji, TVS-nya hanya 18,3.
            Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan, maka tulisan ini akan melihat wacana lokalitas yang terdapat dalam sinetron Preman Pensiun sebagai genre sinetron yang ditawarkan melawan arus serial impor yang sarat dengan nilai globalisasi.

Sinetron lokal vs Sinetron Impor

            Perkembangan jumlah produksi sinetron di Indonesia memang tidak dapat dihitung lagi. Beragam judul sinetron hingga melampaui ribuan episode dengan puluhan pemain nampaknya masih menarik minat masyarakat Indonesia. Namun, belakangan ini tidak hanya sinetron produksi dalam negeri yang mewarnai layar kaca masyarakat Indonesia, tetapi juga sinetron impor yang berasal dari luar negeri.
            Merebaknya sinetron atau serial yang berasal dari luar negeri, nampaknya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 90 an hingga 2000 an, Indonesia juga diserbu berbagai macam tayangan televisi yang berasal dari berbagai negara, seperti Amerika Latin, India, Korea, Amerika, China, dan Jepang. Namun, belakangan ini negara Turki cukup mendominasi di Indonesia, sehingga bukan hanya demam India, tetapi masyarakat kita pun demam serial yang berasal dari Turki. Serial Turki ini memang menarik perhatian masyarakat Indonesia karena ceritanya yang penuh dengan intrik dan pemainnya yang memiliki wajah tampan dan cantik.
            Masuknya tayangan yang berasal dari India dan Turki di tahun 2015 ini merupakan sebuah fenomena yang berasal dari mudahnya arus informasi dan budaya yang dapat diakses dan melampaui batas negara, atau dengan kata lain globalisasi juga turut mendorong masuknya serial ini. Arus globalisasi bukan hanya terkait dengan permaslahan ekonomi, tetapi juga makna kultural (Barker, 2000: 117). Proses infiltrasi kultural tentu saja dapat dilakukan dengan mudah dan akan berkembang secara cepat jika diaruskan melalui televisi.
            Televisi menawarkan arus globalisasi yang tidak dapat dibendung. Menurut Roberston (1992) yang dikutip dari Barker bahwa konsep globalisasi mengacu kepada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi-koneksi global dan pemahaman kita atas mereka (hal.117). Kini, dengan masuknya sinetron impor memungkinkan masyarakat Indonesia mengetahui kondisi kultural negara lain tanpa harus pergi ke negara tersebut. Misalnya, kisah kerajaan Mughal dapat kita peroleh melalui serial Jodha Akbar, atau kisah kesuksesan kerajaan Otoman pada kekhilafahan bisa dilihat pada tayangan King Suleiman. Walaupun tayangan tersebut tidak merepresentasikan hal yang terjadi sebenarnya atau hanya sekedar hiburan dan fiktif belaka, tetapi adanya koneksi global yang menghubungkan antara negara Indonesia dengan India dan Turki akan memberikan pemahaman sendiri terkait negara tersebut tanpa adanya kehadiran audien secara fisik.
            Sinetron merupakan sebuah produk kultural yang dapat berkembang secara pesat melampaui batas-batas negara. Barker menyebutkan bahwa sinetron atau opera sabun merupakan bentuk global karena sinetron merupakan cara bernarasi yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia dan bentuk acara televisi yang paling banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks kultural (2000:301). Sinetron sebagai salah satu program tentu memiliki ciri khas dengan narasinya yang ‘dekat’ dengan kehidupan masyarakat. Pemasalahan personal biasanya menjadi ciri khas dari sinetron, sehingga adanya intrik-intrik inilah menjadikan sinetron dapat dipahami oleh siapapun walaupun berada dalam konteks kultural yang berbeda. Masuknya sinetron impor, atau disebut sebagai suatu proses globalisasi televisi, sesungguhnya tidak dapat dihindarkan dari wacana kapitalisme, yang disebut Barker (2000:295) sebagai logika yang ekspansionis dan dinamis dalam petualangannya mencari komoditas dan pasar baru.
            Masuknya sinetron-sinetron impor, tentunya menjadi perhatian tersendiri bagi para produser dan sutradara sinetron dalam negeri agar bisa bersaing dengan sinetron impor yang tidak dapat dibendung. Salah satunya, adalah Aris Nugraha sang sutradara dan penulis dibalik pembuatan sinetron Preman Pensiun yang memiliki ide kreatif dan cemerlang untuk membuat sebuah sinetron yang kental dengan nilai-nilai kelokalan tatar sunda. Kemampuan Aris sebagai penggagas dan penulis skenario dituangkan secara mendetail dalam karakter yang berada dalam sinetron. Misalnya saja karakter Kang Muslihat yang berperawakan kecil tapi tegas menjadi ciri khas tersendiri karena ia adalah pemimpin dari preman-preman pasar dan terminal di kota Bandung. Keberhasilan sinetron mengangkat isu lokal juga disinggung oleh Barker yang menyatakan keberhasilan opera sabun juga mencerminkan adanya kemungkinan yang ditawarkan kepada penonton untuk mengikuti isu lokal atau isu regional yang terdapat di tempat-tempat ‘nyata’ yang dapat dikenali. (2000:301). Secara tidak langsung, penonton seakan menghadirkan dirinya dalam suasana Kesundaan yang kental ketika menonton Preman Pensiun. Melalui sinetron ini, penonton juga diajak melihat perspektif lain, yaitu kehidupan sosial para preman, pencopet, pedagang cilok, dan satpam yang biasanya tidak pernah disorot di televisi. Mendekatkan diri pada kehidupan masyarakat bawah adalah sama halnya dengan melihat isu lokal yang berada di daerah-daerah Indonesia.

Imaji Lokal dalam Sinetron Preman Pensiun

            Perkembangan dunia layar kaca di Indonesia merupakan sebuah proses yang panjang. Dahulu, TVRI sebagai televisi milik pemerintah sangat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga berhasil membangun citra pemerintah pada saat itu yang identik dengan pembangunan. Selain itu, konstruksi, citra, dan gambaran tentang Indonesia seringkali dibangun melalui tayangan yang berada di TVRI. Namun, hal ini terus berkembang hingga Indonesia memiliki stasiun televisi swasta yang tentunya konstruk pembangunan tidak begitu kental seperti yang ditayangkan oleh TVRI.
            Menurut Guiness (1994:285) dalam Irawanto, imaji (image) tentang Indonesia modern yang dipromosikan lewat televisi dan media penyiaran pemerintah serta diperkuat oleh para pejabat pemerintah adalah gaya hidup kelas menengah kota dan terdidik (hal. 54). Imaji tentang Indonesia yang modern, kuat, damai, dan sejahtera tentu merupakan tugas utama televisi milik pemerintah, sehingga masyarakat benar-benar percaya dengan apa yang ditayangkan melalui TV nasional mereka. Namun, masih menurut Irawanto bahwa ketika televisi swasta hadir di Indonesia dahulu, imaji yang dibangun tetap saja kehidupan kelas menengah, urban, dan modern yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya ( hal. 55). Nampaknya, citra yang ditampilkan di layar kaca tidak mengalami perubahan berarti, bahwa seakan-akan audiens yang menonton hanyalah mereka yang berasal dari kalangan menengah, urban, serta tinggal di kota-kota besar, sehingga yang ditampilkan tentunya adalah kehidupan yang berasal dari kelas menengah saja. Jika ada berita, tentunya berita yang ditampilkan adalah permasalahan di kota besar atau ketika tayangan televisi tersebut menayangkan sinetron dan alur ceritanya pun mengikuti logika masyarakat urban. Sehingga, tayangan televisi masihlah bersifat Jakartasentris dengan lika-liku hidup perkotaannya.
            Meski demikian, belakangan ini tidak semua sinetron menayangkan hal yang identik dengan kelas menengah serta kehidupan perkotaannya. Imaji tentang modernitas berubah seiring dengan alur cerita dan latar tempat variatif dalam tayangan televisi. Menurut Hall, 1970: 40 dalam Barker 

[t]elevisi berdampak pada ‘ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita memersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami (2000: 275)

Imajinasi sosial mengenai masyarakat kelas bawah seperti preman dan pencopet, akan membantu penonton memersepsikan “dunia” yang dijalani oleh mereka, sehingga memberikan perspektif baru pada penonton. Seperti halnya dengan Preman Pensiun yang mengambil latar tempat di Bandung, yang dapat disebut sebagai salah satu kota besar di Indonesia dengan gaya urbannya, tetapi hadir dengan tidak menyoroti kelas menengah di kota tersebut. Preman Pensiun justru hadir dengan perspektif kelas bawah, yaitu kehidupan preman dan lika-likunya untuk bertahan hidup di kota besar. Sekaligus, Preman Pensiun menyajikan permasalahan sosial yang jarang diangkat ke layar kaca, yaitu adanya premanisme di kota besar.
            Preman Pensiun menggambarkan kehidupan para preman dan pencopet yang identik dengan kelas bawah harus berhadapan dengan modernitas Bandung. Aspek lokalitas yang kental menjadi ciri khas tersendiri dalam sinetron ini hingga menjadi imaji sinetron Indonesia yang berkembang saat ini. Sebelumnya, banyak sinetron yang menawarkan perspektif berbeda, misalnya Bajaj Bajuri, Si Doel dsb, tetapi sinetron tersebut merupakan bagian kecil dari etnis Betawi yang juga berada di Jakarta selaku ibu kota negara Indonesia. Jika selama ini, kehidupan perkotaan menjadi sesuatu yang “wajib” hadir dalam tayangan televisi, namun kini beragam perspektif dan wacana kelokalan dapat menjadi alternatif dan tren tersendiri pada tayangan televisi.
            Imaji kelokalan dalam sinetron Preman Pensiun memang dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari para tokohnya. Walaupun dikisahkan tokoh tersebut adalah pencopet dan preman pasar, tetapi masih kental pada nilai-nilai religiusitas yang berada pada masyarakat Indonesia. Seperti di salah satu episodenya dikisahkan bahwa para preman tersebut juga menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan senantiasa menahan perilaku-perilaku kasar mereka pada orang lain. Selaku pimpinan dari para preman, Kang Mus juga kerap memastikan anak buahnya berpuasa. Misalnya, Kang Mus yang mengatakan pada anak buahnya yang tidak berpuasa, “Memangnya kamu tidak malu ikut lebaran, kamu kan tidak berpuasa”, atau dikisahkan ketika Kang Mus juga membeli baju koko dan sarung yang identik dengan simbol agama Islam di Indonesia. Selain Kang Mus, anak buahnya pun digambarkan menjalankan ibadah puasa, misalnya Kang Komar yang berkata “saya kalau marah sama dia, nanti saja sudah maghrib” atau Dikdik yang berkata “saya mau ngabuburit sama Imas sambil nunggu puasa”. Dari beberapa episode yang ditayangkan, dapat dilihat bahwa nilai religiusitas menjadi ciri khas para preman ini. Sehingga, sinetron ini menegosiasikan nilai religiusitas Islam yang kental dengan para preman tersebut.
            Nampaknya, sinetron ini juga ingin membantah sterotip negatif yang berkembang bahwa preman itu biasanya berhati jahat, suka kekerasan, dsb sekaligus turut mempromosikan kota Bandung dan segala fasilitas publiknya. Dikisahkan dalam sinetron, misalnya Kang Komar yaitu preman yang sangat tegas namun sangat lembut pada istrinya. Tidak hanya Kang Komar, tetapi Kang Mus, dan Kang Bahar pun demikian, mereka sangat menyayangi istri mereka. Kang Bahar memutuskan pensiun jadi preman karena istrinya sebelum meninggal dunia meminta berkumpul dengan Kang Bahar di Surga. Kang Bahar berpikir bahwa untuk masuk surga, ia harus berhenti menjadi preman. Selain itu, Kang Mus selaku bos preman pun akan sangat marah jika ada anak buahnya yang mengambil hak milik orang lain. Dengan demikian, sinetron Preman Pensiun ini juga memberikan satu perspektif baru terkait stereotip preman yang biasanya dinilai negatif.

Penutup
            Di tengah berkembangnya sinetron impor yang berasal dari India dan Turki, kehadiran sinetron Preman Pensiun menjadi alternatif tersendiri bagi penonton di Indonesia. Wacana kelokalan yang kental menjadi ciri khasnya yang ditampilkan melalui pemain, latar tempat, bahasa, dan isu sosial yang berkembang. Sinetron Preman Pensiun kemudian memberikan perspektif berbeda pada masyarakat mengenai kehidupan preman dan pencopet yang biasanya distereotipkan negatif, namun kehidupan preman dalam sinetron ini juga merupakan negosiasi pada nilai religius keislaman di Indonesia.


Referensi 
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Irawanto, Budi. Menertawakan Kejelataan Kita : Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Juni 2006 : 49-62

8 komentar:

  1. Padahal judulnya preman pensiun yak tapi masih ada aja yang melakukan hal negatif di sinetron itu kapan pensiunnya coba hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi....iya mak, yang geng pencopet yaaaa. Kang Bahar yang pensiun :)

      Hapus
  2. mak kalo aku lebih tertarik dengan yang tiba-tiba tivi kita marak sinetron turki...kenapa ya, apa turki lagi ekspor besar-besaran karya sineronnya?? ini kayak kembali lagi beberapa tahun lalu yang tivi kita didominasi telenovela

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mak, kalau televisi itu sifatnya jadi homogen kalau udah ada yg laku. Awalnya kan di antv tuh yg abad kejayaan, trus ratingnya tinggi jadi semua stasiun tv jg menayangkan acara sejenis hihi. Iya nih kayanya balik lagi jaman dulu yg telenovela semua

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Ini mah tugas makul Globalisasi.
    Eh, aku gak setuju kalo Imas dibilang lugu dan polos. Dia itu judes tapi ngangenin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa matkul globalisasi :D
      Imas itu lugu kalau diajak ke supermarket sama teh Kinanti

      Hapus