Sumber : wikipedia. org
Pendahuluan
Di Indonesia, sinetron nampaknya
masih menjadi tayangan favorit masyarakat. Hingga kini tak terhitung berapa
jumlah judul sinetron yang sudah diproduksi di Indonesia dengan beragam genre seperti drama, religi, komedi, action dan sebagainya. Antusiasme masyarakat
pada sinetron membuat rating sinetron selalu tinggi, apalagi di bulan suci
Ramadhan yang selalu menayangkan salah satu genre khusus
sinetron yaitu sinetron religi.
Persaingan ketat antara sinetron
religi terjadi di bulan Ramadhan. Beragam judul sinetron religi tayang pada
saat sahur atau berbuka puasa di hampir seluruh stasiun televisi. Penonton di
rumah yang menyukai sinetron nampak dimanjakan dengan hadirnya jenis sinetron
religi pada saat bulan Ramadhan apalagi dengan aktris dan aktor yang cukup
terkenal di Indonesia. Misalnya, Sinetron religi yang tayang menjelang berbuka beberapa waktu lalu adalah Sakinah Bersamamu (RCTI),
Cinta di Langit Taj Mahal (Antv), dan
Di Bawah Lindungan Abah (TransTV),
sedangkan sinetron yang tayang ketika waktu sahur salah satunya adalah Para Pencari Tuhan (SCTV).
Namun, selama bulan Ramadhan ini,
layar kaca tidak hanya dihiasi oleh sinetron bertemakan religi saja, tetapi juga genre komedi. Salah satu yang menarik
perhatian masyarakat adalah sinetron Preman
Pensiun yang ditayangkan oleh RCTI pada waktu menjelang berbuka puasa yaitu
pukul 17.00 WIB.
Preman
Pensiun merupakan sinetron bergenre drama komedi yang diproduksi oleh MNC
Pictures dan ANP Pictures. Sinetron Preman
Pensiun ini menceritakan tentang kehidupan Kang Bahar yang merupakan bos
dari preman-preman pasar dan terminal yang berada di wilayah Bandung, namun dikisahkan ia telah pensiun dari kehidupan preman tersebut. Kisah yang diceritakan bukanlah kisah Kang Bahar ketika
masih menjadi bos preman, tetapi setelah ia pensiun. Ia juga memiliki tangan kanan
yang bernama Muslihat. Sebelum menjadi tangan kanan Kang Bahar, Muslihat
merupakan seorang pencuri yang mencoba melakukan tindak pencurian ke rumah Kang Bahar. Ia mencuri
karena ibunya yang sedang sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat.
Preman pensiun terbagi menjadi dua
sesi, yaitu sesi pertama dan sesi kedua. Sesi pertama tayang sejak tanggal
12 Januari 2015, sedangkan yang kedua tayang sejak 25 Mei 2015, yaitu menjelang
Ramadhan. Sesi pertama menceritakan kang Bahar yang memutuskan untuk pensiun, sedangkan
sesi dua menceritakan Kang Muslihat yang menggantikan posisi Kang Bahar sebagai
pengatur preman-preman yang berada di pasar dan terminal. Kisah Preman Pensiun sesi kedua ini penuh dengan
humor antara para pemainnya yang memiliki karakteristik berbeda-beda.
Para pemain sinetron Preman Pensiun sangat khas dengan logat
sunda yang kental. Misalnya Didi Petet yang berperan sebagai Kang Bahar atau
Epy Kusnandar sebagai Kang Mus yang merupakan aktor Indonesia berdarah Sunda
dan sering memerankan tokoh Sunda. Belum lagi karakter lain yang humoris
sehingga mengundang gelak tawa dari para penonton, misalnya Mat Drajat yang
memerankan Kang Komar. Kang Komar merupakan preman gondrong yang sangar tetapi
sangat lembut pada istrinya yang disering dipanggil Bebeb. Selain itu ada
juga Soraya Rasyid yang berperan sebagai Imas, pembantu kang Bahar yang polos
dan lugu, Sandy Tile yang berperan sebagai Amin, supir Kang Bahar yang
digambarkan polos, Tya Arifin yang memerankan Kinanti, anak Kang Bahar,
serta tidak lupa para pencopet yaitu Icuk Nugroho yang memerankan Saep dengan
kelihaiannya mencopet di angkot, Neni Nurdin yang berperan sebagai Junaedi, bos
copet, Ucup Palentin yang memerankan Ubet, dan Dewi Novitasari yang
memerankakan tokoh Dewi. Ubet dan Dewi dikisahkan tobat sebagai copet dan menjadi
penjual cilok.
Latar tempat sinetron Preman Pensiun ini yaitu di Bandung,
terutama di terminal dan pasar jika para preman tengah berkumpul. Namun,
terkadang juga mengambil lokasi syuting di gedung perkantoran dan rumah Kang
Bahar yang juga berlokasi di Bandung. Kota Bandung menjadi ciri khas dari
sinetron ini. Berbagai tempat yang menjadi ciri khas Bandung seperti alun-alun
dan gedung sate juga kerap ditampilkan. Selain tempat, logat para pemain yang
kental dengan logat sunda serta pilihan kata dan gaya bercanda ala kota kembang juga kerap ditampilkan.
Hadirnya sinetron Preman Pensiun yang kental dengan nuansa
Bandung dari pemain-pemainnya yang sebagian besar dari tanah Sunda, spot yang dipilih untuk menggambarkan
suasana Bandung yang khas, makanan khas Bandung seperti Cuankie dan Cilok,
transportasi umum Bandung yaitu angkot yang hilir mudik, serta bahasa Sunda
yang terkadang diselipkan seperti naon,
mah, atuh, teh dan sebagainya menjadikan sinetron ini layaknya representasi
kota Bandung yang disajikan melalui media elektronik. Kelokalan yang
ditampilkan cukup unik dan berani ditengah menjamurnya sinetron impor di layar
kaca. Belakangan ini, Indonesia memang dibombardir dengan sinetron dari India
seperti Jodha Akbar, Khrisna, Navya dsb,
hingga sinetron asal Turki seperti Abad
Kejayaan, yang semua tayangan tersebut ditayangkan di Antv. Selain itu, kini sinetron
Elif dari Turki yang ditayangkan SCTV juga turut menyita perhatian masyarakat. Namun, sinetron Preman Pensiun semenjak kehadirannya sudah mulai mencuri perhatian
penonton, hal ini dibuktikan dengan rating Preman
Pensiun yang tinggi dan memimpin sinetron yang lain. Dilansir dari tabloid
bintang bahwa sinetron Preman Pensiun
2 meraih TVR 3,9 dan TVS 22. Praktis, sinetron Preman Pensiun unggul di jam tayangnya. Bahkan sinetron keluarga yang banyak ditonton atau berada di posisi 1, Tukang
Bubur Naik Haji, TVS-nya hanya 18,3.
Berdasarkan pendahuluan yang telah
dipaparkan, maka tulisan ini akan melihat wacana lokalitas yang terdapat dalam
sinetron Preman Pensiun sebagai genre sinetron yang ditawarkan melawan
arus serial impor yang sarat dengan nilai globalisasi.
Sinetron lokal vs Sinetron Impor
Perkembangan jumlah produksi
sinetron di Indonesia memang tidak dapat dihitung lagi. Beragam judul sinetron
hingga melampaui ribuan episode dengan puluhan pemain nampaknya masih menarik
minat masyarakat Indonesia. Namun, belakangan ini tidak hanya sinetron produksi
dalam negeri yang mewarnai layar kaca masyarakat Indonesia, tetapi juga
sinetron impor yang berasal dari luar negeri.
Merebaknya sinetron atau serial yang
berasal dari luar negeri, nampaknya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada
tahun 90 an hingga 2000 an, Indonesia juga diserbu berbagai macam tayangan
televisi yang berasal dari berbagai negara, seperti Amerika Latin, India,
Korea, Amerika, China, dan Jepang. Namun, belakangan ini negara Turki cukup
mendominasi di Indonesia, sehingga bukan hanya demam India, tetapi masyarakat
kita pun demam serial yang berasal dari Turki. Serial Turki ini memang menarik
perhatian masyarakat Indonesia karena ceritanya yang penuh dengan intrik dan
pemainnya yang memiliki wajah tampan dan cantik.
Masuknya tayangan yang berasal dari
India dan Turki di tahun 2015 ini merupakan sebuah fenomena yang berasal dari
mudahnya arus informasi dan budaya yang dapat diakses dan melampaui batas
negara, atau dengan kata lain globalisasi juga turut mendorong masuknya serial
ini. Arus globalisasi bukan hanya terkait dengan permaslahan ekonomi, tetapi
juga makna kultural (Barker, 2000: 117). Proses infiltrasi kultural tentu saja
dapat dilakukan dengan mudah dan akan berkembang secara cepat jika diaruskan
melalui televisi.
Televisi menawarkan arus globalisasi
yang tidak dapat dibendung. Menurut Roberston (1992) yang dikutip dari
Barker bahwa konsep globalisasi mengacu
kepada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran kita atas
dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi-koneksi global dan pemahaman kita
atas mereka (hal.117). Kini, dengan masuknya sinetron impor memungkinkan
masyarakat Indonesia mengetahui kondisi kultural negara lain tanpa harus pergi
ke negara tersebut. Misalnya, kisah kerajaan Mughal dapat kita peroleh melalui
serial Jodha Akbar, atau kisah
kesuksesan kerajaan Otoman pada kekhilafahan bisa dilihat pada tayangan King Suleiman. Walaupun tayangan
tersebut tidak merepresentasikan hal yang terjadi sebenarnya atau hanya sekedar
hiburan dan fiktif belaka, tetapi adanya koneksi global yang menghubungkan
antara negara Indonesia dengan India dan Turki akan memberikan pemahaman
sendiri terkait negara tersebut tanpa adanya kehadiran audien secara fisik.
Sinetron
merupakan sebuah produk kultural yang dapat berkembang secara pesat melampaui
batas-batas negara. Barker menyebutkan bahwa sinetron atau opera sabun merupakan
bentuk global karena sinetron merupakan cara bernarasi yang diproduksi di
berbagai negara di seluruh dunia dan bentuk acara televisi yang paling banyak
diekspor dan ditonton di berbagai konteks kultural (2000:301). Sinetron sebagai
salah satu program tentu memiliki ciri khas dengan narasinya yang ‘dekat’
dengan kehidupan masyarakat. Pemasalahan personal biasanya menjadi ciri khas
dari sinetron, sehingga adanya intrik-intrik inilah menjadikan sinetron dapat
dipahami oleh siapapun walaupun berada dalam konteks kultural yang berbeda.
Masuknya sinetron impor, atau disebut sebagai suatu proses globalisasi
televisi, sesungguhnya tidak dapat dihindarkan dari wacana kapitalisme, yang
disebut Barker (2000:295) sebagai logika yang ekspansionis dan dinamis dalam petualangannya
mencari komoditas dan pasar baru.
Masuknya
sinetron-sinetron impor, tentunya menjadi perhatian tersendiri bagi para
produser dan sutradara sinetron dalam negeri agar bisa bersaing dengan sinetron
impor yang tidak dapat dibendung. Salah satunya, adalah Aris Nugraha sang
sutradara dan penulis dibalik pembuatan sinetron Preman Pensiun yang memiliki ide kreatif dan cemerlang untuk
membuat sebuah sinetron yang kental dengan nilai-nilai kelokalan tatar sunda.
Kemampuan Aris sebagai penggagas dan penulis skenario dituangkan secara
mendetail dalam karakter yang berada dalam sinetron. Misalnya saja karakter
Kang Muslihat yang berperawakan kecil tapi tegas menjadi ciri khas tersendiri
karena ia adalah pemimpin dari preman-preman pasar dan terminal di kota
Bandung. Keberhasilan sinetron mengangkat isu lokal juga disinggung oleh Barker
yang menyatakan keberhasilan opera sabun
juga mencerminkan adanya kemungkinan yang ditawarkan kepada penonton untuk
mengikuti isu lokal atau isu regional yang terdapat di tempat-tempat ‘nyata’
yang dapat dikenali. (2000:301). Secara tidak langsung, penonton seakan
menghadirkan dirinya dalam suasana Kesundaan yang kental ketika menonton Preman Pensiun. Melalui sinetron ini,
penonton juga diajak melihat perspektif lain, yaitu kehidupan sosial para
preman, pencopet, pedagang cilok, dan satpam yang biasanya tidak pernah disorot
di televisi. Mendekatkan diri pada kehidupan masyarakat bawah adalah sama
halnya dengan melihat isu lokal yang berada di daerah-daerah Indonesia.
Imaji Lokal dalam Sinetron Preman Pensiun
Perkembangan dunia layar kaca di
Indonesia merupakan sebuah proses yang panjang. Dahulu, TVRI sebagai televisi
milik pemerintah sangat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga berhasil
membangun citra pemerintah pada saat itu yang identik dengan pembangunan.
Selain itu, konstruksi, citra, dan gambaran tentang Indonesia seringkali
dibangun melalui tayangan yang berada di TVRI. Namun, hal ini terus berkembang
hingga Indonesia memiliki stasiun televisi swasta yang tentunya konstruk
pembangunan tidak begitu kental seperti yang ditayangkan oleh TVRI.
Menurut Guiness (1994:285) dalam
Irawanto, imaji (image) tentang Indonesia
modern yang dipromosikan lewat televisi dan media penyiaran pemerintah serta
diperkuat oleh para pejabat pemerintah adalah gaya hidup kelas menengah kota
dan terdidik (hal. 54). Imaji tentang Indonesia yang modern, kuat, damai,
dan sejahtera tentu merupakan tugas utama televisi milik pemerintah, sehingga
masyarakat benar-benar percaya dengan apa yang ditayangkan melalui TV nasional
mereka. Namun, masih menurut Irawanto bahwa ketika televisi swasta hadir di
Indonesia dahulu, imaji yang dibangun tetap saja kehidupan kelas menengah,
urban, dan modern yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya ( hal. 55).
Nampaknya, citra yang ditampilkan di layar kaca tidak mengalami perubahan
berarti, bahwa seakan-akan audiens yang menonton hanyalah mereka yang berasal
dari kalangan menengah, urban, serta tinggal di kota-kota besar, sehingga yang
ditampilkan tentunya adalah kehidupan yang berasal dari kelas menengah saja.
Jika ada berita, tentunya berita yang ditampilkan adalah permasalahan di kota
besar atau ketika tayangan televisi tersebut menayangkan sinetron dan alur
ceritanya pun mengikuti logika masyarakat urban. Sehingga, tayangan televisi
masihlah bersifat Jakartasentris dengan lika-liku hidup perkotaannya.
Meski demikian, belakangan ini tidak
semua sinetron menayangkan hal yang identik dengan kelas menengah serta
kehidupan perkotaannya. Imaji tentang modernitas berubah seiring dengan alur
cerita dan latar tempat variatif dalam tayangan televisi. Menurut Hall, 1970:
40 dalam Barker
[t]elevisi berdampak pada ‘ketentuan dan
konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita
memersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner
merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara
keseluruhan” yang dapat dipahami (2000: 275)
Imajinasi
sosial mengenai masyarakat kelas bawah seperti preman dan pencopet, akan
membantu penonton memersepsikan “dunia” yang dijalani oleh mereka, sehingga
memberikan perspektif baru pada penonton. Seperti halnya dengan Preman Pensiun yang mengambil latar
tempat di Bandung, yang dapat disebut sebagai salah satu kota besar di
Indonesia dengan gaya urbannya, tetapi hadir dengan tidak menyoroti kelas
menengah di kota tersebut. Preman Pensiun
justru hadir dengan perspektif kelas bawah, yaitu kehidupan preman dan
lika-likunya untuk bertahan hidup di kota besar. Sekaligus, Preman Pensiun menyajikan permasalahan
sosial yang jarang diangkat ke layar kaca, yaitu adanya premanisme di kota
besar.
Preman
Pensiun menggambarkan kehidupan para preman dan pencopet yang identik
dengan kelas bawah harus berhadapan dengan modernitas Bandung. Aspek lokalitas
yang kental menjadi ciri khas tersendiri dalam sinetron ini hingga menjadi
imaji sinetron Indonesia yang berkembang saat ini. Sebelumnya, banyak sinetron
yang menawarkan perspektif berbeda, misalnya Bajaj Bajuri, Si Doel
dsb, tetapi sinetron tersebut merupakan bagian kecil dari etnis Betawi yang
juga berada di Jakarta selaku ibu kota negara Indonesia. Jika selama ini,
kehidupan perkotaan menjadi sesuatu yang “wajib” hadir dalam tayangan televisi,
namun kini beragam perspektif dan wacana kelokalan dapat menjadi alternatif dan
tren tersendiri pada tayangan televisi.
Imaji kelokalan dalam sinetron Preman Pensiun memang dapat dilihat dari
kehidupan sehari-hari para tokohnya. Walaupun dikisahkan tokoh tersebut adalah
pencopet dan preman pasar, tetapi masih kental pada nilai-nilai religiusitas
yang berada pada masyarakat Indonesia. Seperti di salah satu episodenya
dikisahkan bahwa para preman tersebut juga menjalankan ibadah puasa Ramadhan
dan senantiasa menahan perilaku-perilaku kasar mereka pada orang lain. Selaku
pimpinan dari para preman, Kang Mus juga kerap memastikan anak buahnya
berpuasa. Misalnya, Kang Mus yang mengatakan pada anak buahnya yang tidak
berpuasa, “Memangnya kamu tidak malu ikut lebaran, kamu kan tidak berpuasa”,
atau dikisahkan ketika Kang Mus juga membeli baju koko dan sarung yang identik
dengan simbol agama Islam di Indonesia. Selain Kang Mus, anak buahnya pun
digambarkan menjalankan ibadah puasa, misalnya Kang Komar yang berkata “saya
kalau marah sama dia, nanti saja sudah maghrib” atau Dikdik yang berkata “saya
mau ngabuburit sama Imas sambil
nunggu puasa”. Dari beberapa episode yang ditayangkan, dapat dilihat bahwa
nilai religiusitas menjadi ciri khas para preman ini. Sehingga, sinetron ini menegosiasikan
nilai religiusitas Islam yang kental dengan para preman tersebut.
Nampaknya, sinetron ini juga ingin
membantah sterotip negatif yang berkembang bahwa preman itu biasanya berhati
jahat, suka kekerasan, dsb sekaligus turut mempromosikan kota Bandung dan segala fasilitas publiknya. Dikisahkan dalam sinetron, misalnya Kang Komar
yaitu preman yang sangat tegas namun sangat lembut pada istrinya. Tidak hanya
Kang Komar, tetapi Kang Mus, dan Kang Bahar pun demikian, mereka sangat
menyayangi istri mereka. Kang Bahar memutuskan pensiun jadi preman karena
istrinya sebelum meninggal dunia meminta berkumpul dengan Kang Bahar di Surga.
Kang Bahar berpikir bahwa untuk masuk surga, ia harus berhenti menjadi preman.
Selain itu, Kang Mus selaku bos preman pun akan sangat marah jika ada anak
buahnya yang mengambil hak milik orang lain. Dengan demikian, sinetron Preman Pensiun ini juga memberikan satu
perspektif baru terkait stereotip preman yang biasanya dinilai negatif.
Penutup
Di tengah berkembangnya sinetron
impor yang berasal dari India dan Turki, kehadiran sinetron Preman Pensiun menjadi alternatif
tersendiri bagi penonton di Indonesia. Wacana kelokalan yang kental menjadi
ciri khasnya yang ditampilkan melalui pemain, latar tempat, bahasa, dan isu
sosial yang berkembang. Sinetron Preman
Pensiun kemudian memberikan perspektif berbeda pada masyarakat mengenai
kehidupan preman dan pencopet yang biasanya distereotipkan negatif, namun
kehidupan preman dalam sinetron ini juga merupakan negosiasi pada nilai
religius keislaman di Indonesia.
Referensi
Barker, Chris. 2000.
Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta
: Kreasi Wacana
Irawanto, Budi. Menertawakan Kejelataan Kita : Transgresi
Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Juni 2006 : 49-62